Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-46/PJ/2020 - Petunjuk Pelaksanaan PP No 23 Tahun 2018
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________
18 Agustus 2020
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 46/PJ/2020
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2018 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
A. Umum
Sehubungan dengan telah diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 23 Tahun 2018) dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PMK-99/PMK.03/2019), yang dalam pelaksanaannya masih membutuhkan penegasan dan petunjuk mengenai prosedur pelaksanaan PP 23 Tahun 2018 dan PMK-99/PMK.03/2019, perlu menetapkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak mengenai petunjuk pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
B. Maksud dan Tujuan
1. Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman dalam
pelaksanaan PP 23 Tahun 2018.
2. Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk:
a. menciptakan keseragaman dalam pelaksanaan PP 23 Tahun 2018;
b. menegaskan mengenai pelaksanaan beberapa ketentuan dalam PP 23 Tahun 2018; dan
c. menjelaskan mengenai prosedur pelaksanaan PP 23 Tahun 2018.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal ini meliputi:
1. Pengertian.
2. Penegasan mengenai pelaksanaan ketentuan PP 23 Tahun 2018:
a. Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak
Penghasilan (PPh) final sesuai ketentuan PP 23 Tahun 2018;
b. Penghasilan yang dikenai PPh final sesuai ketentuan PP 23 Tahun 2018;
c. Pemberitahuan bagi Wajib Pajak yang memilih untuk dikenai PPh berdasarkan
Ketentuan Umum PPh;
d. Perlakuan PPh bagi Wajib Pajak badan tertentu berbentuk Persekutuan Komanditer
(CV) atau firma;
e. Perlakuan PPh bagi Wajib Pajak badan berupa bank, bank perkreditan rakyat, koperasi
simpan pinjam, lembaga keuangan mikro, lembaga pemberi dana pinjaman, dan/atau
badan yang melakukan usaha gadai;
f. Perlakuan atas PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 yang telah dipotong atau
dipungut atau disetor sendiri bagi Wajib Pajak yang telah diterbitkan surat pembatalan
dan/atau pencabutan Surat Keterangan;
g. Kompensasi kerugian bagi Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan
yang dikenai PPh berdasarkan PP 23 Tahun 2018;
h. Penghitungan angsuran PPh Pasal 25; dan
i. Hal-hal lainnya yang perlu ditegaskan terkait dengan pengenaan PPh yang bersifat
final berdasarkan PP 23 Tahun 2018.
3. Prosedur pelaksanaan PP 23 Tahun 2018.
D. Dasar
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019, beserta peraturan pelaksanaannya;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
(PP 23 Tahun 2018);
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengembalian atas
Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
(PMK-99/PMK.03/2018);
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2018 tentang Penghitungan Angsuran Pajak
Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Baru,
Bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa, Wajib
Pajak Lainnya yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala
dan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (PMK-215/PMK.03/2018);
8. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 tentang Norma Penghitungan
Penghasilan Neto;
9. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-09/PJ/2019 tentang Pembatalan dan Pencabutan
Surat Keterangan Pajak Penghasilan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018
(PER-09/PJ/2019); dan
10. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Administrasi Nomor Pokok Wajjb Pajak, Sertifikat Elektronik, dan Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak.
E. Materi
1. Pengertian.
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:
a. PPh Berdasarkan Ketentuan Umum PPh adalah PPh yang dihitung berdasarkan
Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU PPh dan dikalikan
dengan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E UU PPh;
b. Surat Keterangan PPh Berdasarkan PP 23 Tahun 2018, yang selanjutnya disebut Surat
Keterangan, adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas
nama Direktur Jenderal Pajak yang menerangkan bahwa Wajib Pajak menerima atau
memperoleh penghasilan yang dikenai PPh berdasarkan PP 23 Tahun 2018;
c. Nomor Pokok Wajib Pajak, yang selanjutnya disingkat NPWP, adalah nomor yang
diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang
dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya; dan
d. Kantor Pelayanan Pajak, yang selanjutnya disebut KPP, adalah instansi vertikal
Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
2. Penegasan Mengenai Pelaksanaan Ketentuan PP 23 Tahun 2018
a. Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai PPh
berdasarkan PP 23 Tahun 2018.
1) Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan yang dapat
dikenai PPh berdasarkan ketentuan PP 23 Tahun 2018 yaitu:
a) Wajib Pajak orang pribadi;
b) Wajib Pajak badan berbentuk:
(1) Persekutuan Komanditer (CV) dan firma berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang;
(2) Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, beserta
peraturan pelaksanaannya; dan
(3) Koperasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian, beserta peraturan pelaksanaannya,
yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak
melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam
1 (satu) Tahun Pajak.
2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1), yang tidak dikenai PPh
berdasarkan PP 23 Tahun 2018 yaitu:
a) Wajib Pajak memilih untuk dikenai PPh Berdasarkan Ketentuan Umum
PPh;
b) Wajib Pajak badan berbentuk Persekutuan Komanditer (CV) atau firma
yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki
keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (4) PP 23 Tahun 2018;
c) Wajib Pajak badan memperoleh fasilitas PPh berdasarkan:
(1) Pasal 31A UU PPh; atau
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak
Penghasilan dalam Tahun Berjalan beserta perubahan atau
penggantinya; dan
d) Bentuk Usaha Tetap (BUT).
b. Penghasilan yang dikenai PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018.
1) Berdasarkan memori penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU PPh, aliran penghasilan
bagi Wajib Pajak dapat dikelompokkan menjadi:
a) penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan
bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter,
notaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
b) penghasilan dari usaha dan kegiatan;
c) penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak maupun harta tak
gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan
harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
d) penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
2) Penghasilan yang menjadi objek PPh berdasarkan PP 23 Tahun 2018 yaitu
keseluruhan peredaran bruto dari usaha, termasuk peredaran bruto dari
cabang, kecuali penghasilan tersebut:
a) diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (4) PP 23 Tahun 2018;
b) diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang atau
telah dibayar di luar negeri;
c) telah dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
d) dikecualikan sebagai objek pajak.
3) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengalihan harta
yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan tidak termasuk
penghasilan dari usaha yang dikenai PPh berdasarkan PP 23 Tahun 2018.
4) Contoh:
a) PT. A perusahaan manufaktur, pada suatu tahun mendapat penghasilan
dari penjualan harta berupa kendaraan bermotor yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan dan digunakan untuk operasional
perusahaan. Penghasilan dari penjualan harta berupa kendaraan
bermotor yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
tersebut bagi perusahaan manufaktur tidak termasuk penghasilan dari
usaha yang dikenai PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 sehingga
dikenai PPh Berdasarkan Ketentuan Umum PPh.
b) Wajib Pajak orang pribadi pegawai yang menerima atau memperoleh
penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam
1 (satu) Tahun Pajak, maka atas penghasilan dari usaha tersebut
dikenakan PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018.
c. Pemberitahuan bagi Wajib Pajak yang memilih untuk dikenai PPh berdasarkan
Ketentuan Umum PPh.
1) Wajib Pajak yang memenuhi kriteria subjek pajak yang dikenai PPh
berdasarkan PP 23 Tahun 2018 namun memilih untuk dikenai pph Berdasarkan
Ketentuan Umum PPh, wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
kepada Direktur Jenderal melalui:
a) KPP tempat Wajib Pajak pusat terdaftar;
b) Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) atau
KPP Mikro yang berada di dalam wilayah kerja KPP tempat Wajib Pajak
pusat terdaftar; atau
c) saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal, antara lain
melalui laman www.pajak.go.id.
2) Penyampaian pemberitahuan dilakukan paling lambat pada akhir Tahun Pajak
dan pengenaan PPh Berdasarkan Ketentuan Umum PPh bagi Wajib Pajak
tersebut berlaku mulai Tahun Pajak berikutnya.
3) Khusus bagi Wajib Pajak yang terdaftar sejak tanggal 1 Juli 2018 sampai
dengan tanggal 31 Desember 2018, dapat dikenai PPh Berdasarkan Ketentuan
Umum PPh mulai Tahun Pajak terdaftar dengan cara menyampaikan
pemberitahuan paling lambat tanggal 31 Desember 2018 atau paling lambat
akhir Tahun Pajak terdaftar.
4) Wajib Pajak yang terdaftar sejak 1 Januari 2019 dapat dikenai PPh Berdasarkan
Ketentuan Umum PPh mulai Tahun Pajak terdaftar dengan menyampaikan
pemberitahuan pada saat mendaftarkan diri dengan cara:
a) bersamaan dengan permohonan pendaftaran Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP); atau
b) terpisah dengan permohonan pendaftaran NPWP namun diajukan pada
hari yang sama dengan permohonan pendaftaran NPWP.
5) Dalam hal Wajib Pajak sejak awal Tahun Pajak 2018 sampai dengan tanggal
30 Juni 2018 tidak memenuhi syarat untuk menjalankan kewajiban perpajakan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 (PP 46 Tahun 2013),
namun sejak tanggal 1 Juli 2018 memenuhi ketentuan sebagai Wajib Pajak
yang dikenai PPh berdasarkan PP 23 Tahun 2018, Wajib Pajak dapat memilih
untuk dikenai PPh Berdasarkan Ketentuan Umum PPh mulai Tahun Pajak 2018
sepanjang Wajib Pajak menyampaikan pemberitahuan paling lambat pada
tanggal 31 Desember 2018.
6) Contoh:
a) Tuan B terdaftar pada tanggal 3 Agustus 2019 dan memiliki usaha toko
kelontong. Pada saat mendaftar untuk memperoleh NPWP, Tuan B
memberitahukan memilih untuk dikenai PPh Berdasarkan Ketentuan
Umum PPh, sehingga Tahun Pajak 2019 dan seterusnya Tuan B
melakukan penghitungan, penyetoran dan pelaporan PPh Berdasarkan
Ketentuan Umum PPh.
b) Tuan C terdaftar sejak 10 Oktober 2017 dan telah menghitung,
menyetor dan melaporkan usahanya sesuai PP 46 Tahun 2013. Sejak
bulan Juli 2018, Tuan C menghitung, menyetor dan melaporkan
usahanya sesuai ketentuan PP 23 Tahun 2018. Pada bulan Oktober
2019 Tuan C menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPP tempat
Tuan C terdaftar untuk dikenai PPh Berdasarkan Ketentuan Umum
PPh.
Sampai dengan akhir Tahun Pajak 2019, Tuan C tetap menghitung,
menyetor, dan melaporkan usahanya sesuai ketentuan PP 23 Tahun
2018. Tuan C dikenai PPh Berdasarkan Ketentuan Umum PPh mulai
Tahun Pajak 2020 dan seterusnya.
d. Perlakuan PPh bagi Wajib Pajak badan tertentu berbentuk CV atau firma.
1) Tidak termasuk Wajib Pajak yang dikenai PPh final berdasarkan PP 23 Tahun
2018 antara lain Wajib Pajak badan berbentuk CV atau firma yang dibentuk
oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus,
menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) PP 23 Tahun 2018.
2) Dalam hal salah satu pemilik CV atau firma memiliki keahlian khusus
sehubungan dengan pekerjaan bebas, sedangkan pemilik yang lain tidak
memiliki keahlian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4)
PP 23 Tahun 2018, maka CV atau firma tersebut dikecualikan dari subjek
pajak berdasarkan PP 23 Tahun 2018 sepanjang menyerahkan jasa
sehubungan dengan keahlian khusus dan/atau pekerjaan bebas pemiliknya.
3) Contoh:
Tuan F seorang konsultan pajak dan bersama Tuan G dan Tuan H yang bukan
konsultan pajak membentuk CV FGH. CV tersebut menjalankan usaha dengan
memberikan jasa konsultan pajak. Karena CV FGH memberikan jasa sesuai
dengan keahlian khusus salah satu pendirinya maka CV FGH dikecualikan dari
subjek pajak PP 23 Tahun 2018 dan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh CV FGH dikenai PPh Berdasarkan Ketentuan Umum PPh.
e. Perlakuan PPh bagi Wajib Pajak badan berupa bank, bank perkreditan rakyat, koperasi
simpan pinjam, lembaga keuangan mikro, lembaga pemberi dana pinjaman, dan/atau
badan yang melakukan usaha gadai.
1) Bagi Wajib Pajak badan berupa bank, bank perkreditan rakyat, koperasi
simpan pinjam, lembaga keuangan mikro, lembaga pemberi dana pinjaman,
dan/atau badan yang melakukan usaha gadai yang memenuhi kriteria
berdasarkan PP 23 Tahun 2018, atas penghasilan dari usaha yang diterima
atau diperoleh dapat dikenai PPh bersifat final sebesar 0,5% (nol koma lima
persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.
2) Peredaran bruto yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah jumlah seluruh
penghasilan usaha jasa perbankan/peminjaman, antara lain:
a) pendapatan bunga, fee, komisi, dan seluruh penghasilan yang terkait
dengan pemberian kredit/pinjaman, tidak termasuk pembayaran
pokok kredit/pinjaman; dan
b) penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan atas simpanan
di bank lain, serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia yang diterima
atau diperoleh oleh Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat.
f. Perlakuan atas PPh Final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 yang telah dipotong atau
dipungut atau disetor sendiri bagi Wajib Pajak yang telah diterbitkan surat pembatalan
dan/atau pencabutan Surat Keterangan.
1) Wajib Pajak yang telah diterbitkan surat pembatalan atau pencabutan Surat
Keterangan wajib melaksanakan kewajiban PPh Berdasarkan Ketentuan Umum
PPh terhitung sejak saat tidak terpenuhinya kriteria sebagai Wajib Pajak yang
dikenai PPh berdasarkan PP 23 Tahun 2018.
2) Pembayaran dan/atau pemotongan PPh berdasarkan PP 23 Tahun 2018 atas
penghasilan Wajib Pajak yang telah diterbitkan surat pembatalan atau
pencabutan Surat Keterangan yang dilakukan sampai dengan diterbitkannya
surat pembatalan atau pencabutan Surat Keterangan diperlakukan atau
dianggap sebagai angsuran PPh Tahun Pajak yang bersangkutan.
3) Contoh:
Tn. X terdaftar pada tahun 2018 dan memiliki usaha toko peralatan sekolah
dengan peredaran usaha pada Tahun Pajak 2018 dan 2019 tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) serta memperoleh
Surat Keterangan sejak Juli 2018. Tn X menyampaikan SPT Tahunan PPh
Orang Pribadi Tahun Pajak 2020 dengan peredaran usaha lebih dari
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada bulan Maret
2021 sehingga KPP menerbitkan Surat Pencabutan atas Surat Keterangan pada
bulan April 2021.
Pada bulan Januari s.d. April 2021, terdapat transaksi pengadaan barang
dengan Instansi Pemerintah yang masih dilakukan pemotongan PPh final
berdasarkan PP 23 Tahun 2018 karena Tn. X masih menunjukkan Surat
Keterangan. Selain itu Tn. X juga masih melakukan penyetoran PPh final
berdasarkan PP 23 Tahun 2018.
Atas pembayaran maupun pemotongan PPh final berdasarkan PP 23 Tahun
2018 pada masa Pajak Januari 2021 s.d diterbitkan Surat Pencabutan atas
Surat Keterangan, dapat dikreditkan sebagai angsuran PPh pada SPT Tahunan
PPh Orang Pribadi Tn. X Tahun Pajak 2021.
Pemotong atau pemungut PPh tidak wajib melakukan pembetulan SPT Masa
PPh atas transaksi pemotongan atau pemungutan tersebut pada periode
sebelum diterbitkan Surat Pencabutan atas Surat Keterangan.
g. Kompensasi kerugian bagi Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan
yang dikenai PPh berdasarkan PP 23 Tahun 2018.
Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai PPh final
berdasarkan PP 23 Tahun 2018 dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan
kompensasi kerugian atas penghasilan yang tidak dikenai PPh yang bersifat final
dengan ketentuan sebagai berikut:
1) kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut
sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
2) Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan secara terpisah antara
penghasilan yang dikenai PPh Berdasarkan Ketentuan Umum PPh dan
penghasilan yang dikenai PPh final;
3) Tahun Pajak dikenakannya PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 tetap
diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu tersebut; dan
4) kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya PPh final berdasarkan
PP 23 Tahun 2018 tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya,
kecuali terdapat kerugian dari penghasilan yang tidak dikenai PPh yang
bersifat final.
h. Penghitungan angsuran PPh Pasal 25.
1) Dalam hal Wajib Pajak selain menerima atau memperoleh penghasilan yang
dikenai PPh berdasarkan PP 23 Tahun 2018 juga menerima atau memperoleh
penghasilan yang dikenai PPh Berdasarkan Ketentuan Umum PPh, atas
penghasilan yang dikenai PPh Berdasarkan Ketentuan Umum PPh tetap dikenai
kewajiban pembayaran angsuran PPh sesuai ketentuan dalam Pasal 25 UU
PPh dan aturan pelaksanaannya.
2) Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak yang tidak lagi memenuhi
kriteria sebagai Wajib Pajak berdasarkan PP 23 Tahun 2018 termasuk yang
memilih untuk dikenai PPh Berdasarkan Ketentuan Umum PPh yaitu:
a) bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7)
huruf b UU PPh dan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu,
besarnya angsuran pajak yaitu sesuai dengan besarnya angsuran PPh
bagi Wajib Pajak tersebut sebagaimana telah diatur dalam
PMK-215/PMK.03/2018 beserta perubahannya;
b) bagi Wajib Pajak selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada
huruf a), besarnya angsuran pajak yaitu nihil.
i. Hal-hal lain yang perlu ditegaskan terkait dengan pengenaan PPh berdasarkan
PP 23 Tahun 2018 sebagai berikut:
1) Wajib Pajak yang dikenai PPh berdasarkan PP 23 Tahun 2018 memiliki
kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP di KPP yang wilayah
kerjanya meliputi:
a) tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak; dan
b) tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.
2) Dalam hal tempat kegiatan usaha dan tempat tinggal atau tempat kedudukan
Wajib Pajak berada pada wilayah kerja KPP yang sama, kewajiban
mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP Cabang tidak berlaku dan
pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya menggunakan
NPWP Pusat.
3) Dalam hal Wajib Pajak memiliki 2 (dua) atau lebih tempat kegiatan usaha yang
berada pada wilayah kerja KPP yang sama, namun tempat kegiatan usaha
tersebut berada pada wilayah kerja KPP yang berbeda dengan tempat tinggal
atau tempat kedudukannya maka Wajib Pajak tersebut dapat memilih salah
satu tempat kegiatan usaha untuk didaftarkan dan diberikan 1 (satu) NPWP
Cabang yang menjadi bagian dari NPWP yang terdaftar di KPP yang meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak.
Contoh:
a) PT. ABC bertempat kedudukan di Kabupaten Subang yang merupakan
wilayah kerja KPP Pratama Subang, dan memiliki tempat kegiatan
usaha yang juga berada di Kabupaten Subang. Dengan demikian,
PT. ABC tidak perlu mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP Cabang
atas tempat kegiatan usaha tersebut, dan pelaksanaan hak dan/atau
pemenuhan kewajiban perpajakan atas tempat kegiatan usaha
tersebut dilakukan menggunakan NPWP yang diberikan atas tempat
kedudukan PT. ABC.
b) Tuan A bertempat tinggal di Kota Jayapura yang merupakan wilayah
kerja KPP Pratama Jayapura. Tuan A juga memiliki 3 (tiga) tempat
kegiatan usaha berupa toko yang berada di:
(1) Kabupaten Mimika, yang merupakan wilayah kerja KPP
Pratama Timika;
(2) Kabupaten Intan Jaya, yang merupakan wilayah kerja KPP
Pratama Timika; dan
(3) Kabupaten Merauke, yang merupakan wilayah kerja KPP
Pratama Merauke.
Tuan A wajib mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP di KPP Pratama
Jayapura. Selain itu, atas 2 (dua) tempat kegiatan usaha yang berada
di Kabupaten Mimika dan Kabupaten Intan Jaya tersebut, Tuan A dapat
memilih salah satu tempat kegiatan usaha untuk didaftarkan dan
diberikan 1 (satu) NPWP Cabang di KPP Pratama Timika yang
digunakan untuk pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban
atas kedua tempat kegiatan usahanya, misalnya tempat kegiatan
usaha di Kabupaten Mimika. Dan atas tempat kegiatan usaha yang
berada di Kabupaten Merauke, Tuan A wajib mendaftarkan diri untuk
memperoleh NPWP Cabang di KPP Pratama Merauke.
4) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto dari usaha pada Tahun Pajak 2017
melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
kemudian pada Tahun Pajak 2018 memiliki peredaran bruto dari usaha tidak
melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), tidak
termasuk Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang
dikenai PPh berdasarkan PP 23 Tahun 2018, sehingga untuk Tahun Pajak 2018
dan seterusnya dikenai PPh Berdasarkan Ketentuan Umum PPh walaupun Wajib
Pajak tersebut tidak menyampaikan pemberitahuan memilih untuk dikenai PPh
Berdasarkan Ketentuan Umum PPh.
5) Wajib Pajak orang pribadi yang dikenai PPh berdasarkan PP 23 Tahun 2018
dan memenuhi kriteria Pasal 14 ayat (2) UU PPh dapat memilih untuk tidak
menyelenggarakan pembukuan, namun Wajib Pajak tetap memiliki kewajiban
untuk menyelenggarakan pencatatan tanpa harus menyampaikan
pemberitahuan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto.
6) Dalam hal terdapat nota retur atau nota pembatalan karena pengembalian
barang atau pembatalan seluruh/sebagian hak/fasilitas/kemudahan oleh pihak
penerima barang dan/atau jasa, maka nilai pengembalian barang atau
pembatalan jasa dimaksud dapat menjadi pengurang penghasilan bruto yang
menjadi dasar pengenaan PPh berdasarkan PP 23 Tahun 2018 pada saat
terjadi pengembalian barang atau jasa. Pengembalian barang/jasa dianggap
tidak terjadi jika terdapat penggantian barang/jasa yang sama baik jumlah
fisik, jenis, maupun harganya.
7) PPh yang terutang berdasarkan PP 23 Tahun 2018 dilunasi dengan cara:
a) disetar sendiri oleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto
tertentu; atau
b) dipotong atau dipungut oleh Pemotong atau Pemungut Pajak yang
ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut Pajak.
8) Pembayaran PPh dengan cara disetor sendiri dilakukan dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang dipersamakan
dengan SSP paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir dengan mengisi Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis
Setoran 420 untuk setiap tempat kegiatan usaha terdaftar.
Contoh :
Tuan A sebagaimana dimaksud pada contoh pada angka 3) huruf b) melakukan
penyetoran sendiri PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 paling lambat
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
menggunakan NPWP yang terdaftar pada:
a) KPP Pratama Timika, atas tempat usaha yang berada di Kabupaten
Mimika dan Kabupaten Intan Jaya;
b) KPP Pratama Merauke, atas tempat usaha yang berada di Kota
Merauke.
Jika Tuan A juga melakukan kegiatan usaha di tempat tinggalnya maka Tuan
A juga menyetorkan PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 menggunakan
NPWP yang terdaftar pada KPP Pratama Jayapura.
9) Pemotong atau Pemungut Pajak dalam kedudukan sebagai pembeli atau
pengguna jasa melakukan pemotongan atau pemungutan PPh berdasarkan
PP 23 Tahun 2018 dengan tarif sebesar 0,5% (nol koma lima persen) terhadap
Wajib Pajak yang memiliki Surat Keterangan, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a) dilakukan atas setiap transaksi penjualan barang atau penyerahan
jasa yang merupakan objek pemotongan atau pemungutan PPh sesuai
ketentuan yang mengatur mengenai pemotongan atau pemungutan
PPh; dan
b) Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut PPh berdasarkan PP 23
Tahun 2018 menyerahkan fotokopi Surat Keterangan kepada Pemotong
atau Pemungut Pajak.
10) Saat terutang PPh berdasarkan PP 23 Tahun 2018 yang pelunasannya dilakukan
dengan cara pemotongan atau pemungutan mengikuti ketentuan yang
mengatur mengenai pemotongan atau pemungutan PPh sesuai ketentuan
umum PPh yang menjadi dasar pemotongan atau pemungutan.
Contoh:
PT. A memberikan jasa perawatan kendaraan kepada PT. B pada tanggal
10 Januari 2019. Tagihan atas jasa tersebut disampaikan tanggal 11 Januari
2019. PT. B melakukan pembayaran atas tagihan tersebut tanggal 15 Februari
2019. Kewajiban PT. B melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas transaksi
tersebut namun karena PT. A memberikan fotokopi Surat Keterangan maka
PT. B melakukan pemotongan PPh final 0,5% (nol koma lima persen) dari
penghasilan bruto. Saat terutang PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018
tersebut sama dengan saat terutang PPh yang menjadi dasar pemotongan
(dalam hal ini adalah PPh Pasal 23) yaitu pada saat yang terjadi terlebih
dahulu antara pembayaran dan saat yang ditentukan dalam kontrak atau
perjanjian atau faktur.
11) Pemotong atau Pemungut Pajak tidak melakukan pemotongan atau pemungutan
PPh Pasal 22 terhadap Wajib Pajak yang memiliki Surat Keterangan yang
melakukan transaksi:
a) impor; atau
b) pembelian barang,
dan Wajib Pajak bersangkutan harus menyerahkan fotokopi Surat Keterangan
kepada Pemotong atau Pemungut Pajak
12) Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat menyerahkan fotokopi Surat Keterangan
kepada Pemotong atau Pemungut Pajak, dan/atau kebenaran Surat Keterangan
tidak terkonfirmasi, maka Pemotong atau Pemungut Pajak melakukan
pemotongan atau pemungutan PPh sesuai ketentuan umum PPh.
13) Dalam hal terdapat transaksi yang menjadi objek pemotongan atau
pemungutan PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 namun telanjur dipotong
atau dipungut PPh Berdasarkan ketentuan umum PPh oleh pihak lain maka
a) Wajib Pajak yang dikenai PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018
tetap memiliki kewajiban untuk menyetorkan sendiri PPh final
berdasarkan PP 23 Tahun 2018 sebesar 0,5% (nol koma lima persen)
dari penghasilan bruto atas transaksi tersebut; dan
b) atas PPh yang telanjur dipotong atau dipungut pihak lain tersebut
dapat:
(1) diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya
tidak terutang sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara
pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang; atau
(2) dikreditkan terhadap PPh yang terutang berdasarkan ketentuan
umum PPh untuk Tahun Pajak yang bersangkutan,
oleh Wajib Pajak yang dikenai PPh final berdasarkan PP 23 Tahun
2018.
Contoh:
PT. DEF merupakan Wajib Pajak yang memenuhi kriteria untuk dikenai PPh
berdasarkan PP 23 Tahun 2018. PT. DEF menyewakan kendaraan kepada
Instansi Pemerintah dengan nilai transaksi Rp15.000.000,- (lima belas juta
rupiah).
Pada saat terutang PPh, PT. DEF tidak menyerahkan fotokopi Surat Keterangan
kepada Instansi Pemerintah sehingga dilakukan pemotongan PPh Pasal 23
dengan tarif 2% (dua persen) dari penghasilan bruto oleh Instansi Pemerintah.
Atas transaksi persewaan kendaraan tersebut PT. DEF tetap memiliki kewajiban
untuk menyetorkan sendiri PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 sebesar
0,5% (nol koma lima persen) dari penghasilan bruto. Dan atas pemotongan
PPh Pasal 23 yang telah dilakukan oleh Instansi Pemerintah, dapat:
a) diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak
terutang oleh PT. DEF; atau
b) dikreditkan terhadap PPh yang terutang berdasarkan ketentuan umum
PPh untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
14) Pemotong atau Pemungut Pajak wajib menyetorkan PPh final berdasarkan
PP 23 Tahun 2018 yang telah dipotong atau dipungut paling lama tanggal
10 (sepuluh) bulan berikutnya dengan menggunakan SSP atau sarana
administrasi lain yang dipersamakan dengan SSP dengan ketentuan:
a) diisi atas nama Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut;
b) ditandatangani oleh Pemotong atau Pemungut Pajak, dan
c) diisi Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis Setoran 423
sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal yang mengatur
mengenai Bentuk Formulir Surat Setoran Pajak.
15) SSP sebagaimana dimaksud pada angka 14) merupakan bukti pemotongan
atau pemungutan PPh dan harus diberikan oleh Pemotong atau Pemungut
Pajak kepada Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut.
16) Pemotong atau Pemungut Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan
PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018, wajib menyampaikan SPT Masa PPh
4 ayat (2) ke KPP terdaftar paling lama tanggal 20 (dua puluh) setelah Masa
Pajak berakhir dengan mengisi baris pada angka 11 formulir SPT Masa PPh
Pasal 4 ayat (2):
a) Kolom Uraian diisi dengan "Penghasilan Usaha WP yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu", dan
b) Kolom KAP/KJS diisi dengan "411128/423".
17) Bagi Wajib Pajak yang sejak awal Tahun Pajak 2018 sampai dengan sebelum
PP 23 Tahun 2018 berlaku tidak memenuhi syarat untuk menjalankan
kewajiban perpajakan berdasarkan PP 46 Tahun 2013, namun sejak 1 Juli 2018
memenuhi ketentuan sebagai Wajib Pajak yang dikenai PPh final berdasarkan
PP 23 Tahun 2018 dan Wajib Pajak tidak memilih untuk dikenai PPh
Berdasarkan Ketentuan Umum PPh, penghitungan untuk pelaporan SPT
Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 adalah sebagai berikut:
a) peredaran usaha sejak awal Tahun Pajak 2018 sampai dengan
Juni 2018 merupakan penghasilan yang dihitung pajaknya
menggunakan ketentuan umum PPh sedangkan peredaran usaha
mulai Juli 2018 sampai akhir Tahun Pajak 2018 merupakan
penghasilan yang dikenai PPh berdasarkan PP 23 Tahun 2018;
b) pengeluaran dan/atau biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final
dan/atau dikenakan pajak berdasarkan norma penghitungan
penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
Undang-Undang PPh dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh tidak boleh dikurangkan dalam
menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak;
c) angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU PPh dan
pajak yang telah dipotong dan/atau dipungut pihak lain selain yang
bersifat final dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang untuk
Tahun Pajak yang bersangkutan.
d) bukti pembayaran dan/atau bukti pemotongan PPh berdasarkan
PP 23 Tahun 2018 dilaporkan pada kelompok penghasilan yang
dikenai PPh final.
18) Dalam hal sistem mengidentifikasi bahwa permohonan Wajib Pajak tidak
memenuhi syarat validasi pada saat mengajukan Surat Keterangan namun
Wajib Pajak memenuhi kriteria untuk dikenai PPh berdasarkan PP 23 Tahun
2018, KPP dapat menindaklanjuti dengan melakukan perubahan data secara
jabatan sesuai prosedur sebagaimana diatur dalam Lampiran huruf G Surat
Edaran Direktur Jenderal ini.
19) Dalam hal Wajib Pajak telah memiliki Surat Keterangan yang diterbitkan
secara manual, KPP harus menyampaikan himbauan kepada Wajib Pajak agar
mengajukan kembali permohonan Surat Keterangan kepada Direktur Jenderal
secara daring (online) melalui laman www.pajak.go.id.
3. Prosedur Pelaksanaan PP 23 Tahun 2018, contoh format Surat Penyampaian Informasi, dan
contoh format Uraian Penelitian yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini yang terdiri dari:
a. Prosedur Penerimaan Surat Pemberitahuan Wajib Pajak yang Memilih Untuk Dikenai
PPh Berdasarkan Ketentuan Umum PPh Melalui Saluran Tertentu yang Ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
b. Prosedur Penerimaan Surat Pemberitahuan Wajib Pajak yang Memilih untuk Dikenai
PPh Berdasarkan Ketentuan Umum PPh Secara Langsung Melalui KPP/KP2KP.
c. Prosedur Penerimaan Permohonan Surat Keterangan Dikenai PPh berdasarkan PP 23
Tahun 2018 Melalui Laman Direktorat Jenderal Pajak.
d. Prosedur Penerimaan Permohonan Surat Keterangan Dikenai PPh berdasarkan PP 23
Tahun 2018 secara langsung melalui KPP/KPP Mikro/KP2KP.
e. Prosedur Pembatalan atau Pencabutan Surat Keterangan Dikenai PPh berdasarkan
PP 23 Tahun 2018.
f. Prosedur Konfirmasi Kebenaran Surat Keterangan Dikenai PPh berdasarkan PP 23
Tahun 2018.
g. Prosedur Perubahan Data Wajib Pajak secara jabatan terkait validasi sistem Wajib
Pajak PP 23 Tahun 2018.
h. Contoh format Surat Penyampaian Informasi Bagi Wajib Pajak yang Memilih untuk
Dikenai PPh Berdasarkan Ketentuan Umum PPh.
i. Contoh Format Laporan Hasil Penelitian terkait PP 23 Tahun 2018.
F. Penutup
1. Dengan berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, maka:
a. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013 tentang Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu; dan
b. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ/2014 tentang Penegasan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
2. Agar pelaksanaan pengenaan PPh yang bersifat final berdasarkan PP 23 Tahun 2018
sebagaimana ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini dapat berjalan dengan baik,
dengan ini para:
a. Kepala Kantor Wilayah diminta untuk melakukan pengawasan dan sosialisasi Surat
Edaran Direktur Jenderal ini di lingkungan kerja masing-masing; dan
b. Kepala KPP, Kepala KP2KP, dan Kepala KPP Mikro diminta untuk melakukan sosialisasi
dan pengawasan pelaksanaan PP 23 Tahun 2018 yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Agustus 2020
DIREKTUR JENDERAL,
ttd.
SURYO UTOMO
Labels: Income Tax, Indonesian Tax
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home