SE-47/PJ/2020 - Petunjuk Pelaksanaan PMK 110/PMK.03/2020 Insentif Pajak Dampak Covid-19
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
25 Agustus 2020
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 47/PJ/2020
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 86/PMK.03/2020 TENTANG INSENTIF PAJAK UNTUK WAJIB PAJAK
TERDAMPAK PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 SEBAGAIMANA TELAH
DIUBAH DENGAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 110/PMK.03/2020
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
A. Umum
Sehubungan dengan telah diundangkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020 tentang
Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib
Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019, yang mengatur mengenai pemberian tambahan
pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 dan insentif PPh DTP atas penghasilan jasa konstruksi
tertentu untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi, produktivitas dan daya beli masyarakat serta
membantu cash flow Wajib Pajak terkait dengan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), perlu
menetapkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak mengenai petunjuk pelaksanaan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona
Virus Disease 2019 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
110/PMK.03/2020 (yang selanjutnya disebut PMK-86/2020).
B. Maksud dan Tujuan
1. Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman mengenai
pelaksanaan PMK-86/2020.
2. Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk:
a. menciptakan keseragaman dalam pelaksanaan PMK-86/2020;
b. menjelaskan mengenai tata cara:
1) penyampaian pemberitahuan/permohonan pemanfaatan insentif pajak oleh
Pemberi Kerja/Wajib Pajak;
2) penyampaian surat pemberitahuan bahwa Pemberi Kerja/Wajib Pajak tidak
berhak memanfaatkan insentif pajak;
3) pelaporan realisasi pemanfaatan insentif pajak; dan
4) pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal ini meliputi:
1. pengertian;
2. tata cara pemberian insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung Pemerintah (PPh
Pasal 21 DTP);
3. tata cara pemberian insentif PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 ditanggung Pemerintah
(PPh final PP 23 DTP);
4. tata cara pemberian insentif PPh final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi ditanggung
Pemerintah (PPh final jasa konstruksi DTP);
5. tata cara pembebasan PPh Pasal 22 Impor;
6. tata cara pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25;
7. ketentuan mengenai penyampaian kembali pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21
DTP, permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dan/atau
pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25.
8. tata cara penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, PPh final PP 23
DTP, PPh final jasa konstruksi DTP, pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dan/atau
pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25;
9. tata cara pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN);
10. ketentuan terkait kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) yang mendapatkan insentif PPh
Pasal 21 DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25,
dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN;
11. ketentuan terkait perusahaan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), Penyelenggara Kawasan
Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, dan Pengusaha di Kawasan Berikat merangkap
Penyelenggara di Kawasan Berikat (PDKB) yang mendapatkan insentif PPh Pasal 21 DTP,
pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN; dan
12. tata cara pengawasan atas pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, PPh final PP 23 DTP, PPh
final jasa konstruksi DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran
PPh Pasal 25, dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN.
D. Dasar
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
(Undang-Undang KUP);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-Undang PPh);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Undang-Undang PPN);
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
5. Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;
6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam
Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas
Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (UU 2 Tahun 2020);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 2009 (PP 51 Tahun 2008);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
(PP 23 Tahun 2018);
9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi;
10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengembalian atas
Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang;
11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-244/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan
dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak;
12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang
Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 110/PMK.03/2018;
13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 117/PMK.03/2019 (PMK-39/2018);
14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
15. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2018 tentang Pembebasan Bea Masuk dan
Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang
Lain dengan Tujuan untuk Diekspor;
16. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2018 tentang Penghitungan Angsuran Pajak
Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Baru,
Bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa, Wajib
Pajak Lainnya yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala
dan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu;
17. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak
Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020 (PMK-86/2020);
18. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2010 tentang Tata Cara dan Prosedur
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan
Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2015;
19. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengajuan
Permohonan Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan oleh Pihak
Lain sebagaimana telah diubah dengan PER-21/PJ/2014;
20. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan
Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
21. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2018 tentang Penetapan Wajib Pajak
Kriteria Tertentu atau Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah dan Perlakuan atas Selisih
Kelebihan Pembayaran Pajak yang Belum Dikembalikan dalam Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak;
22. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-09/PJ/2019 tentang Tata Cara Pembatalan dan
Pencabutan Surat Keterangan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2018;
23. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, dan Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak; dan
24. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ/2020 tentang Penghitungan Angsuran Pajak
Penghasilan untuk Tahun Pajak Berjalan Sehubungan dengan Penyesuaian Tarif Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Badan (PER-08/2020).
E. Materi
1. Pengertian
a. Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
b. Pemberi Kerja adalah orang pribadi atau badan, baik merupakan pusat maupun cabang,
perwakilan, atau unit, termasuk Instansi Pemerintah, yang membayar gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan/atau pembayaran lain dengan nama atau dalam bentuk
apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh
Pegawai.
c. Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada Pemberi Kerja, berdasarkan
perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk
melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan
memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian
pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan Pemberi Kerja.
d. Kemudahan Impor Tujuan Ekspor yang selanjutnya disebut KITE adalah Kemudahan
Impor Tujuan Ekspor Pembebasan, Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pengembalian,
dan/atau Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Industri Kecil dan Menengah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
e. Perusahaan KITE adalah badan usaha yang telah memenuhi ketentuan dan ditetapkan
melalui keputusan Menteri Keuangan untuk mendapatkan fasilitas KITE sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
f. Kawasan Berikat adalah tempat penimbunan berikat untuk menimbun barang impor
dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau
digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
g. Penyelenggara Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan
menyediakan dan mengelola kawasan untuk kegiatan pengusahaan Kawasan Berikat.
h. Penyelenggara Kawasan Berikat sekaligus Pengusaha Kawasan Berikat yang
selanjutnya disebut Pengusaha Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan
kegiatan penyelenggaraan sekaligus pengusahaan Kawasan Berikat.
i. Pengusaha di Kawasan Berikat merangkap Penyelenggara di Kawasan Berikat yang
selanjutnya disebut PDKB adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan
kawasan berikat yang berada di dalam Kawasan Berikat milik Penyelenggara Kawasan
Berikat yang berstatus sebagai badan hukum yang berbeda.
j. Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disebut NPWP adalah nomor yang diberikan
kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan
sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya.
k. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disebut KPP adalah instansi vertikal
Direktorat Jenderal Pajak.
l. Wajib Pajak Berstatus Pusat adalah Wajib Pajak yang terdaftar di KPP dan memiliki
NPWP dengan kode 3 (tiga) digit terakhir 000.
m. Wajib Pajak Berstatus Cabang adalah Wajib Pajak yang terdaftar di KPP dan memiliki
NPWP dengan kode 3 (tiga) digit terakhir selain 000.
n. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk
menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu
tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP.
o. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
p. Surat Pemberitahuan Tahunan yang selanjutnya disebut SPT Tahunan adalah surat
pemberitahuan yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan
dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta
dan kewajiban untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
q. Instansi Pemerintah adalah instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, dan
instansi pemerintah desa, yang melaksanakan kegiatan pemerintahan serta memiliki
kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
r. Pemotong atau Pemungut Pajak adalah Wajib Pajak yang dikenai kewajiban untuk
melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang PPh.
s. Surat Keterangan PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 yang
selanjutnya disebut Surat Keterangan adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak yang menerangkan bahwa Wajib
Pajak dikenai PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.
t. Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, yang selanjutnya disingkat
SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, adalah surat keterangan yang menyatakan
bahwa Wajib Pajak memperoleh insentif dibebaskan dari pemungutan PPh Pasal 22
impor berdasarkan PMK-86/2020.
u. Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi yang selanjutnya disebut
P3-TGAI adalah program perbaikan, rehabilitasi, atau peningkatan jaringan irigasi
dengan berbasis peran serta masyarakat petani yang dilaksanakan oleh Perkumpulan
Petani Pemakai Air, Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air, atau Induk
Perkumpulan Petani Pemakai Air.
v. Perkumpulan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disebut P3A adalah kelembagaan
pengelolaan irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah
layanan/petak tersier atau desa yang dibentuk secara demokratis oleh petani pemakai
air termasuk lembaga lokal pengelola irigasi.
w. Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disebut GP3A adalah
kelembagaan sejumlah P3A yang bersepakat bekerja sama memanfaatkan air irigasi
dan jaringan irigasi pada daerah layanan blok sekunder, gabungan beberapa blok
sekunder, atau satu daerah irigasi.
x. Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disebut IP3A adalah
kelembagaan sejumlah GP3A yang bersepakat bekerja sama untuk memanfaatkan air
irigasi dan jaringan irigasi pada daerah layanan blok primer, gabungan beberapa blok
primer, atau satu daerah irigasi.
y. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah Pejabat yang diberi
kewenangan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk mengambil
keputusan dan/atau tindakan dalam rangka pelaksanaan P3-TGAI di Direktorat
Jenderal Sumber Daya Air.
z. Wajib Pajak Penerima P3-TGAI adalah P3A, GP3A, dan/atau IP3A yang melaksanakan
P3-TGAI sebagaimana telah ditetapkan oleh PPK dan disahkan oleh Kepala Satuan Kerja
Balai Besar Wilayah Sungai atau Balai Wilayah Sungai Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat.
aa. Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
bb. Pengusaha Kena Pajak yang selanjutnya disebut PKP adalah pengusaha yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
2. Tata cara pemberian insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah (PPh Pasal 21 DTP)
a. PPh Pasal 21 DTP diberikan kepada Pegawai dengan kriteria:
1) menerima atau memperoleh penghasilan dari Pemberi Kerja yang:
a) memiliki KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A
PMK-86/2020;
b) telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau
c) telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin
Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB;
2) memiliki NPWP; dan
3) pada Masa Pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh Penghasilan
Bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
b. Tata cara penyampaian pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP
dilakukan melalui sarana elektronik yang disediakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
sebagai berikut:
1) Pemberi Kerja mengajukan pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21
DTP secara daring (online) melalui laman www.pajak.go.id;
2) dalam hal Pemberi Kerja merupakan Wajib Pajak Pusat dengan kode KLU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a angka 1 PMK-86/2020
dan memiliki cabang, pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21
ditanggung Pemerintah baik untuk pusat maupun cabang dilakukan oleh Wajib
Pajak Pusat;
3) dalam hal Pemberi kerja yang memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP
berdasarkan kriteria Perusahaan KITE atau mendapatkan izin Penyelenggara
Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB,
pemberitahuan pemanfaatan insentif diajukan oleh Wajib Pajak Pusat dan/atau
Wajib Pajak Cabang yang memenuhi kriteria;
4) jika hasil pengecekan sistem aplikasi pada laman www.pajak.go.id, Pemberi
Kerja dinyatakan:
a) berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, sistem aplikasi akan
menyampaikan notifikasi bahwa Pemberi Kerja telah berhasil
menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP;
b) tidak berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, sistem aplikasi
akan menerbitkan surat pemberitahuan bahwa Pemberi Kerja tidak
berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP.
c. Insentif PPh Pasal 21 DTP diberikan sejak Masa Pajak pemberitahuan disampaikan
sampai dengan Masa Pajak Desember 2020.
d. Dengan mempertimbangkan bahwa PMK-86/2020 diundangkan pada tanggal
16 Juli 2020, maka pemberitahuan untuk memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP
untuk Masa Pajak Juli 2020 dapat disampaikan paling lambat tanggal 10 Agustus 2020.
e. Tata cara pembuatan Surat Setoran Pajak PPh Pasal 21 DTP dan cetakan kode billing
sebagai berikut:
1) Pemberi Kerja, baik Wajib Pajak Pusat maupun Wajib Pajak Cabang, yang
telah menyampaikan pemberitahuan atas PPh Pasal 21 DTP sebagaimana
dimaksud pada huruf b angka 2) dan angka 3) wajib membuat Surat Setoran
Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan "PPh PASAL 21
DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 86/PMK.03/2020";
2) dalam hal Pemberi Kerja telah menggunakan aplikasi e-SPT PPh Pasal 21
sebagai sarana penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT), maka perekaman
kode NTPN diganti perekaman kode billing dengan diawali angka 9 secara
elektronik pada aplikasi e-SPT dan jumlah Rupiah sebesar nilai PPh Pasal 21
DTP (misalnya: kode billing yang terbentuk adalah 123456789012345, maka
kolom NTPN dalam e-SPT diisi dengan 9123456789012345);
3) Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing sebagaimana dimaksud pada
angka 1) disimpan dan diadministrasikan oleh Pemberi Kerja.
f. Dalam hal Pemberi Kerja memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a
angka 1) huruf a), huruf b), atau huruf c), namun Pemberi Kerja telah melakukan
pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diberikan kepada pegawai, maka:
1) Pemberi Kerja dapat melakukan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21;
2) kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 sebagai akibat pembetulan SPT
sebagaimana dimaksud pada angka 1) dapat:
a) dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya, dalam hal pada Masa
Pajak berikutnya terdapat PPh Pasal 21 terutang yang tidak diberikan
insentif DTP, paling sedikit sebesar kelebihan pembayaran PPh
Pasal 21 tersebut; atau
b) diajukan pemindahbukuan atas keseluruhan kelebihan pembayaran
PPh Pasal 21 dalam hal pada Masa Pajak berikutnya tidak terdapat
PPh Pasal 21 terutang yang tidak diberikan insentif DTP, atau atas
selisih kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 dalam hal PPh Pasal 21
terutang yang tidak diberikan insentif DTP lebih kecil dibandingkan
dengan kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 yang mendapatkan
insentif PPh Pasal 21 DTP;
3) dan atas PPh Pasal 21 yang terlanjur dipotong oleh Pemberi Kerja, dibayarkan
kepada Pegawai.
g. Dalam hal Keputusan Menteri Keuangan tentang penetapan Perusahaan KITE, izin
Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB
dicabut, insentif PPh Pasal 21 DTP berakhir sampai dengan Masa Pajak dilakukannya
pencabutan.
h. Dikecualikan dari pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP, dalam hal penghasilan yang
diterima Pegawai berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, dan PPh Pasal 21 telah ditanggung Pemerintah
berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.
i. Dalam hal pegawai yang menerima insentif PPh Pasal 21 DTP menyampaikan SPT
Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 2020 dan menyatakan kelebihan pembayaran,
maka kelebihan pembayaran yang berasal dari PPh Pasal 21 DTP sebagaimana
dimaksud pada huruf a tidak dapat dikembalikan.
3. Tata cara pemberian insentif PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 ditanggung Pemerintah
(PPh final PP 23 DTP)
a. Insentif PPh final PP 23 DTP diberikan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran
bruto tertentu terhadap PPh final yang terutang atas penghasilan usaha sebagaimana
diatur dalam PP 23 Tahun 2018.
b. Pemanfaatan insentif PPh final PP 23 DTP dilakukan dengan menyampaikan laporan
realisasi secara daring (online) melalui laman www.pajak.go.id paling lambat tanggal
20 pada bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
c. Penyampaian laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada huruf b bagi Wajib Pajak
yang belum memiliki Surat Keterangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.03/2018, dapat diperlakukan
sebagai pengajuan Surat Keterangan dan terhadap Wajib Pajak tersebut dapat
diterbitkan Surat Keterangan.
d. Kewajiban penyampaian SPT Masa PPh dianggap telah dipenuhi, jika Wajib Pajak telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf b.
e. Dalam hal Wajib Pajak tidak memiliki peredaran usaha pada bulan tertentu, Wajib Pajak
tidak wajib menyampaikan SPT Masa PPh.
f. Insentif PPh final PP 23 DTP diberikan untuk Masa Pajak April 2020 sampai dengan
Masa Pajak Desember 2020.
g. Penghasilan yang menjadi dasar penghitungan PPh final PP 23 DTP yaitu penghasilan
dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto
tertentu dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 2 PP 23 Tahun 2018.
h. Tata cara konfirmasi Surat Keterangan oleh Pemotong atau Pemungut Pajak sebagai
berikut:
1) Pemotong atau Pemungut Pajak, dalam kedudukannya sebagai pembeli atau
pengguna jasa, melakukan pemotongan atau pemungutan PPh final
berdasarkan PP 23 Tahun 2018 dalam hal:
a) Wajib Pajak menyerahkan fotokopi Surat Keterangan;
b) transaksi penjualan atau penyerahan jasa termasuk dalam kelompok
penghasilan dari usaha yang dikenai PPh final berdasarkan
PP 23 Tahun 2018; dan
c) transaksi penjualan atau penyerahan jasa termasuk objek pemotongan
atau pemungutan PPh sesuai ketentuan umum Undang-Undang PPh;
2) saat terutang PPh atas transaksi dengan pihak pemotong atau pemungut
berdasarkan PP 23 Tahun 2018 mengikuti ketentuan yang mengatur mengenai
pemotongan atau pemungutan PPh sesuai ketentuan umum Undang-Undang
PPh;
3) sebelum melakukan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud
pada angka 1), Pemotong atau Pemungut Pajak melakukan konfirmasi atas
kebenaran Surat Keterangan yang diserahkan oleh Wajib Pajak antara lain
dengan cara:
a) scan barcode;
b) mengakses laman www.pajak.go.id; atau
c) menghubungi Kring Pajak;
4) dalam hal Surat Keterangan sesuai hasil konfirmasi menyatakan bahwa:
a) terkonfirmasi, maka Pemotong atau Pemungut Pajak membuat Surat
Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan
"PPh FINAL DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR
86/PMK.03/2020" dan tidak melakukan pemotongan atau pemungutan
PPh; atau
b) tidak terkonfirmasi, maka Pemotong atau Pemungut Pajak melakukan
pemotongan atau pemungutan PPh sesuai ketentuan umum
Undang-Undang PPh;
5) untuk transaksi impor atau pembelian barang, jika Surat Keterangan
terkonfirmasi Surat Keterangan berfungsi juga sebagai Surat Keterangan
Bebas;
6) Pemotong atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 4) huruf a)
wajib melaporkan Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi
cap atau tulisan "PPh FINAL DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR
86/PMK.03/2020" dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2);
7) dalam hal Pemotong atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada
angka 6) telah menggunakan aplikasi e-SPT PPh Pasal 4 ayat (2) sebagai
sarana penyampaian SPT, maka perekaman kode NTPN diganti perekaman
kode billing dengan diawali angka 9 dan jumlah Rupiah sebesar nilai PPh final
PP 23 DTP (misalnya: kode billing yang terbentuk adalah 123456789012345,
maka kolom NTPN dalam e-SPT diisi dengan 9123456789012345);
8) Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing sebagaimana dimaksud pada
angka 4) huruf a disimpan dan diadministrasikan oleh Wajib Pajak;
9) dalam hal terdapat kelebihan pembayaran PPh final berdasarkan PP 23 Tahun
2018 yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain karena Wajib Pajak
memanfaatkan insentif sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka kelebihan
pembayaran PPh tersebut dapat:
a) diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak
terutang oleh Wajib Pajak; atau
b) diajukan permohonan pemindahbukuan oleh Pemotong atau Pemungut
Pajak di KPP tempat pembayaran diadministrasikan, ke pembayaran
pajak Wajib Pajak.
4. Tata cara pemberian insentif PPh final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi ditanggung
Pemerintah (PPh final jasa konstruksi DTP)
a. PPh final jasa konstruksi DTP diberikan kepada Wajib Pajak Penerima P3-TGAI.
b. Insentif PPh final jasa konstruksi DTP diberikan sejak Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 110/PMK.03/2020 diundangkan sampai dengan Masa Pajak Desember 2020.
c. Tata cara pembuatan Surat Setoran Pajak PPh final jasa konstruksi DTP dan cetakan
kode billing sebagai berikut:
1) Pemotong Pajak wajib membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing
yang dibubuhi cap atau tulisan "PPh FINAL JASA KONSTRUKSI DITANGGUNG
PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 86/PMK.03/2020";
2) Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing sebagaimana dimaksud pada
angka 1) disimpan dan diadministrasikan oleh Pemotong Pajak.
d. Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf c angka 1) wajib melaporkan
Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan "PPh FINAL
JASA KONSTRUKSI DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 86/PMK.03/2020"
dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2).
e. Dalam hal Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud huruf c pada angka 1) telah
menggunakan aplikasi e-SPT PPh Pasal 4 ayat (2) sebagai sarana penyampaian SPT,
perekaman kode NTPN diganti perekaman kode billing dengan diawali angka 9 dan
jumlah Rupiah sebesar nilai PPh final jasa konstruksi DTP (misalnya: kode billing yang
terbentuk adalah 123456789012345, maka kolom NTPN dalam e-SPT diisi dengan
9123456789012345).
f. Dalam hal Pemotong Pajak telah melakukan pemotongan PPh final atas penghasilan
dari usaha jasa konstruksi yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Penerima P3-TGAI
sejak diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020, PPh yang
telah dipotong tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang
seharusnya tidak terutang oleh Wajib Pajak Penerima P3-TGAI ke KPP tempat Wajib
Pajak Penerima P3-TGAI terdaftar.
5. Tata cara pembebasan PPh Pasal 22 Impor
a. Wajib Pajak dibebaskan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dengan kriteria:
1) memiliki kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H
PMK-86/2020;
2) telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau
3) telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha
Kawasan Berikat, atau izin PDKB, pada saat pengeluaran barang dari Kawasan
Berikat ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean.
b. Pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada
huruf a diberikan melalui SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor.
c. Tata cara penyampaian permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagai
berikut:
1) Wajib Pajak menyampaikan permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor
secara daring (online) pada menu Permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22
Impor melalui laman www.pajak.go.id;
2) atas permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud
pada angka 1), berdasarkan pengecekan sistem akan diterbitkan:
a) SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dalam hal Wajib Pajak
memenuhi; atau
b) Surat Penolakan, dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi,
kriteria KLU, Perusahaan KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin
Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB sebagaimana dimaksud pada
huruf a dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran huruf J atau huruf K PMK-86/2020;
3) SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor atau Surat Penolakan diterbitkan segera
setelah Wajib Pajak menyampaikan Permohonan SKB Pemungutan PPh
Pasal 22 Impor melalui laman www.pajak.go.id;
4) terkait dengan perpanjangan masa pemberian insentif sampai dengan Masa
Pajak Desember 2020, dalam hal Wajib Pajak telah memiliki SKB Pemungutan
PPh Pasal 22 Impor berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah
Virus Corona dan/atau Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020
tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus
Disease 2019, Wajib Pajak dapat melakukan cetak ulang SKB Pemungutan
PPh Pasal 22 Impor melalui laman www.pajak.go.id.
d. Jangka waktu pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor berlaku sejak tanggal
SKB diterbitkan sampai dengan tanggal 31 Desember 2020.
e. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dapat melakukan konfirmasi kebenaran SKB
Pemungutan PPh Pasal 22 Impor yang diperoleh Wajib Pajak melalui sarana daring
(online) atau layanan yang disediakan oleh DJP.
f. Tata cara pencabutan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagai berikut:
1) dalam hal terdapat penetapan KMK mengenai pencabutan Perusahaan KITE,
pencabutan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan
Berikat, atau izin PDKB diterbitkan oleh DJBC, DJBC mengirimkan data
dan/atau informasi mengenai KMK pencabutan Perusahaan KITE, izin
Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB
yang dicabut kepada DJP;
2) berdasarkan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada angka 1),
DJP secara jabatan melakukan pencabutan SKB Pemungutan PPh Pasal 22
Impor secara sistem melalui laman www.pajak.go.id;
3) atas pencabutan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud
pada angka 2) Wajib Pajak tidak berhak atas pembebasan pemungutan PPh
Pasal 22 Impor sejak tanggal diterbitkannya KMK mengenai pencabutan
Perusahaan KITE, pencabutan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin
Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB.
6. Tata cara pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25
a. Pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 diberikan kepada Wajib Pajak dengan
kriteria:
1) memiliki kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf M
PMK-86/2020;
2) telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau
3) telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha
Kawasan Berikat, atau izin PDKB.
b. Pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 yaitu 50% (lima puluh persen) dari
angsuran PPh Pasal 25 yang seharusnya terutang untuk setiap Masa Pajak
berdasarkan:
1) penghitungan angsuran PPh Pasal 25 sesuai dengan SPT Tahunan PPh Tahun
2019;
2) besarnya angsuran PPh Pasal 25 Masa Pajak Desember 2019 dalam hal Wajib
Pajak belum menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun 2019;
3) Keputusan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam hal Wajib
Pajak mengajukan permohonan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25
karena penurunan kondisi usaha; atau
4) penghitungan angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
mengenai penghitungan angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak
berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak baru, bank, Badan Usaha
Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak masuk bursa, Wajib
Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan
keuangan berkala dan Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.
c. Penghitungan angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada huruf b
memperhatikan penyesuaian atau menggunakan tarif PPh sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 5 UU 2 Tahun 2020, yang berlaku sejak Masa Pajak batas waktu
penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 (Pasal 6 PER-08/2020).
d. Tata cara penyampaian pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan besarnya
angsuran PPh Pasal 25 dilakukan melalui sarana elektronik yang disediakan DJP
sebagai berikut:
1) Wajib Pajak mengajukan pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 25
secara daring (online) melalui laman www.pajak.go.id;
2) dalam hal berdasarkan pengecekan sistem aplikasi pada laman
www.pajak.go.id Wajib Pajak dinyatakan berhak memanfaatkan insentif PPh
Pasal 25, sistem aplikasi pada laman www.pajak.go.id akan menyampaikan
notifikasi bahwa Wajib Pajak telah berhasil menyampaikan pemberitahuan
pemanfaatan insentif PPh Pasal 25;
3) dalam hal berdasarkan pengecekan sistem aplikasi pada laman
www.pajak.go.id Wajib Pajak dinyatakan tidak berhak memanfaatkan insentif
PPh Pasal 25, sistem aplikasi pada laman www.pajak.go.id akan menerbitkan
surat pemberitahuan bahwa Wajib Pajak tidak berhak memanfaatkan insentif
pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25.
e. Insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada
huruf b diberikan sejak:
1) Masa Pajak Juli 2020 bagi Wajib Pajak yang telah menyampaikan
pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh
Pasal 25; atau
2) Masa Pajak pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan besarnya
angsuran PPh Pasal 25 disampaikan,
sampai dengan Masa Pajak Desember 2020.
f. Dengan mempertimbangkan bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor
86/PMK.03/2020 diundangkan pada tanggal 16 Juli 2020 dan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020 diundangkan pada tanggal 14 Agustus 2020, maka
pemberitahuan untuk memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh
Pasal 25 untuk Masa Pajak Juli 2020, dapat disampaikan paling lambat tanggal
15 Agustus 2020.
g. Wajib Pajak yang berhak memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh
Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada huruf e angka 1), berdasarkan:
1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak
untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona;
2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak
untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019; dan/atau
3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak
untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019,
tetap dapat memanfaatkan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebesar
30% (tiga puluh persen) dari angsuran PPh Pasal yang seharusnya terutang sampai
dengan Masa Pajak Juni 2020.
h. Dalam hal Wajib Pajak telah melakukan pembayaran PPh Pasal 25 yang seharusnya
diberikan pengurangan pada Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf e angka 1)
dan huruf f, kelebihan pembayaran PPh tersebut diperhitungkan sebagai angsuran PPh
Pasal 25 Masa Pajak berikutnya.
i. Dalam hal Wajib Pajak memilih untuk mengajukan pemindahbukuan, kelebihan
pembayaran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada huruf h tidak dapat
diperhitungkan sebagai angsuran PPh Pasal 25 Masa Pajak berikutnya.
j. Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada huruf i dilakukan sesuai dengan
ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara
Pembayaran dan Penyetoran Pajak.
k. Dalam hal Keputusan Menteri Keuangan tentang penetapan Perusahaan KITE, izin
Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB
dicabut, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 berakhir sampai dengan Masa
Pajak dilakukannya pencabutan.
7. Ketentuan mengenai penyampaian kembali pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21
DTP, permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dan/atau pemberitahuan pemanfaatan
insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25
a. Dalam hal Pemberi Kerja atau Wajib Pajak mendapat:
1) surat pemberitahuan bahwa Pemberi Kerja tidak berhak memanfaatkan
insentif PPh Pasal 21 DTP;
2) surat penolakan atas permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor;
dan/atau
3) surat pemberitahuan bahwa Wajib Pajak tidak berhak memanfaatkan insentif
pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25,
sehubungan dengan tidak terpenuhinya persyaratan bahwa Pemberi Kerja/Wajib Pajak
telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin
Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB, maka Pemberi Kerja atau Wajib Pajak
dapat menyampaikan kembali pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP,
permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dan/atau pemberitahuan
pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 secara daring
(online) melalui laman www.pajak.go.id sepanjang:
a) telah mendapatkan KMK mengenai penetapan perusahaan KITE, izin
Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin
PDKB; atau
b) telah memenuhi:
(1) ketentuan kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A;
(2) ketentuan kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H;
dan/atau
(3) ketentuan kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf M,
PMK-86/2020.
b. Insentif PPh Pasal 21 DTP dan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 berlaku
sejak Masa Pajak pemberitahuan kembali disampaikan sampai dengan Masa Pajak
Desember 2020, sedangkan insentif pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 Impor
berlaku sejak tanggal SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor diterbitkan sampai dengan
31 Desember 2020.
8. Tata cara penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, PPh final
PP 23 DTP, PPh final jasa konstruksi DTP, pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 Impor,
dan/atau pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25
a. Pemberi Kerja, Pemotong Pajak, dan/atau Wajib Pajak mengunduh format dan jenis
file laporan realisasi:
1) PPh Pasal 21 DTP;
2) PPh final PP 23 DTP;
3) PPh final jasa konstruksi DTP; dan/atau
4) pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 Impor,
di laman www.pajak.go.id.
b. Wajib Pajak mengisi data realisasi pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25
di laman www.pajak.go.id.
c. Pemberi Kerja mengunggah file laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada huruf a
angka 1) yang telah diisi dengan lengkap dan benar, termasuk kode billing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) PMK-86/2020, melalui saluran tertentu
pada laman www.pajak.go.id paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.
d. Wajib Pajak mengunggah file laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada huruf a
angka 2) yang telah diisi dengan lengkap dan benar, termasuk kode billing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) PMK-86/2020, melalui saluran tertentu
pada laman www.pajak.go.id paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.
e. Dalam hal Wajib Pajak yang telah memanfaatkan insentif PPh final PP 23 DTP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) PMK-86/2020 tidak memiliki penghasilan
dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) PMK-86/2020 dalam suatu
Masa Pajak, Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan laporan realisasi sebagaimana
dimaksud pada huruf a angka 2).
f. Pemotong Pajak mengunggah file laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada
huruf a angka 3) yang telah diisi dengan lengkap dan benar, termasuk kode billing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6B ayat (2) PMK-86/2020, melalui saluran tertentu
pada laman www.pajak.go.id paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.
g. Wajib Pajak mengunggah file laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada huruf a
angka 4) yang telah diisi dengan lengkap dan benar paling lambat:
1) tanggal 20 Juli 2020, untuk Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak
Juni 2020; dan
2) tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir, untuk Masa Pajak
Juli 2020 sampai dengan Masa Pajak Desember 2020,
melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id.
h. Wajib Pajak mengisi data realisasi sebagaimana dimaksud pada huruf b dengan lengkap
dan benar paling lambat:
1) tanggal 20 Juli 2020, untuk Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak
Juni 2020; dan
2) tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir, untuk Masa Pajak
Juli 2020 sampai dengan Masa Pajak Desember 2020,
melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id.
i. Dalam hal Pemberi Kerja, Pemotong Pajak, dan/atau Wajib Pajak belum menyampaikan
laporan realisasi sesuai tanggal sebagaimana dimaksud pada huruf c, huruf d, huruf e,
huruf f, huruf g, dan huruf h sistem informasi DJP akan memberikan notifikasi kepada
Account Representative Pemberi Kerja, Pemotong Pajak, dan/atau Wajib Pajak
bersangkutan untuk selanjutnya ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
9. Tata cara pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN
a. KPP tempat PKP diadministrasikan memproses permohonan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak bagi PKP Berisiko Rendah yang diterima berdasarkan:
1) SPT, dalam hal PKP mengisi kolom pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak berdasarkan Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN dalam
SPT Masa PPN; atau
2) surat permohonan tersendiri sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Huruf F
PMK-39/2018, untuk permohonan pengembalian pendahuluan atas selisih
kelebihan pembayaran pajak yang belum dikembalikan dalam Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) yang diterbitkan
sebelumnya, sepanjang terhadap PKP belum mulai dilakukan tindakan
pemeriksaan atau pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka atas Masa
Pajak yang dimohonkan pengembalian pendahuluan.
b. Satu surat permohonan yang disampaikan tersendiri, digunakan untuk 1 (satu) Masa
Pajak.
c. Dalam hal PKP yang mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan Pasal 9
ayat (4c) Undang-Undang PPN memenuhi persyaratan:
1) diajukan oleh PKP yang:
a) memiliki KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf P
PMK-86/2020;
b) telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau
c) telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin
Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB;
2) jumlah lebih bayar dalam SPT yang diajukan pengembalian pendahuluan paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
3) Masa Pajak yang diajukan pengembalian pendahuluan yaitu Masa Pajak April
2020 sampai dengan Desember 2020; dan
4) Permohonan pengembalian pendahuluan disampaikan paling lama tanggal
31 Januari 2021,
maka permohonan pengembalian pendahuluan PPN tersebut ditindaklanjuti sesuai
dengan prosedur pengembalian pendahuluan PKP Berisiko Rendah sebagaimana
dijelaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
d. Dalam hal PKP yang mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan Pasal 9
ayat (4c) Undang-Undang PPN tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada huruf c maka permohonan pengembalian pendahuluan PPN tersebut
ditindaklanjuti sesuai dengan prosedur pengembalian pendahuluan sebagaimana
dijelaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Nomor SE-10/PJ/2018 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak
dengan Kriteria Tertentu, Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu, dan
Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah.
e. PKP sebagaimana dimaksud pada huruf c meliputi PKP yang telah ditetapkan sebagai
PKP Berisiko Rendah maupun PKP yang belum ditetapkan sebagai PKP Berisiko Rendah.
f. Kepala KPP menerbitkan SKPPKP berdasarkan penelitian administrasi yang meliputi
penelitian kewajiban formal dan penelitian materiil pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak bagi PKP Berisiko Rendah.
g. Penelitian kewajiban formal pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak
bagi PKP Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud pada huruf f meliputi:
1) PKP:
a) memiliki kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf P
PMK-86/2020; atau
b) melampirkan:
(1) Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan sebagai
perusahaan yang mendapat fasilitas KITE; atau
(2) Keputusan Menteri Keuangan mengenai izin Penyelenggara
Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin
PDKB,
pada SPT Masa PPN yang di dalamnya terdapat permohonan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN;
2) jumlah lebih bayar dalam SPT Masa PPN termasuk pembetulan SPT Masa PPN
secara akumulatif tidak melebihi Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
3) SPT Masa PPN, pembetulan SPT Masa PPN, termasuk pengajuan surat
permohonan tersendiri, yang diajukan pengembalian pendahuluan merupakan
Masa Pajak April sampai dengan Desember 2020 dan disampaikan paling lama
tanggal 31 Januari 2021;
4) PKP tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan; dan
5) PKP tidak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum SPT Masa PPN
disampaikan.
h. Penelitian materiil pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi PKP
Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud pada huruf c meliputi:
1) memastikan kebenaran penulisan dan penghitungan pajak, meliputi kebenaran
penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan/atau pembagian suatu bilangan
dalam penghitungan pajak;
2) Pajak Masukan, meliputi Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, yang dikreditkan oleh PKP
Berisiko Rendah telah dilaporkan dalam SPT Masa PPN oleh PKP yang
menerbitkan Faktur Pajak; dan
3) Pajak Masukan yang dibayar sendiri oleh PKP Berisiko Rendah telah divalidasi
dengan NTPN.
i. Petugas peneliti tidak perlu melakukan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan
kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) PMK-39/2018 pada
Masa Pajak yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan. Kegiatan tertentu
tersebut meliputi:
1) ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
2) penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada
Pemungut PPN;
3) penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
PPN-nya tidak dipungut;
4) ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan/atau
5) ekspor Jasa Kena Pajak.
j. Penelitian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada huruf h angka 2) dilakukan
berdasarkan aplikasi atau data dan/atau informasi yang tersedia di sistem informasi
DJP.
k. Penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf h dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
1) Pajak Masukan yang dikreditkan Wajib Pajak pemohon dan tidak dilaporkan
dalam SPT Masa PPN PKP yang membuat Faktur Pajak, tidak diperhitungkan
sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak; dan/atau
2) Pajak Masukan yang dilaporkan dalam SPT Masa PPN PKP yang membuat
Faktur Pajak dan tidak dikreditkan Wajib Pajak pemohon, tidak diperhitungkan
sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak.
l. Penelitian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada huruf h hanya terbatas pada
Pajak Masukan yang dilaporkan pada SPT Masa PPN lebih bayar Masa Pajak yang
diajukan permohonan pengembalian, tidak termasuk Pajak Masukan pada SPT Masa
Pajak sebelumnya yang menyatakan kelebihan pembayaran yang dikompensasikan.
m. Atas nilai lebih bayar yang dikompensasikan di Masa Pajak yang dimintakan
pengembalian pendahuluan diakui sebesar nilai PPN lebih bayar yang dikompensasikan
dalam SPT Masa PPN Masa Pajak sebelumnya atau SPT Masa PPN Masa Pajak yang
dilakukan pembetulan dan mengakibatkan lebih bayar yang selanjutnya
dikompensasikan ke Masa Pajak saat dimintakan pengembalian pendahuluan.
n. Pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak tetap diberikan kepada PKP
meskipun kelebihan pajak disebabkan karena adanya kompensasi Masa Pajak
sebelumnya dan tidak ada ekspor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak pada Masa Pajak yang dimintakan pengembalian pendahuluan.
o. Setelah SKPPKP diterbitkan, atas SPT Masa PPN lebih bayar kompensasi pada Masa
Pajak sebelumnya diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan sesuai dengan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan.
p. Berdasarkan hasil penelitian, Kepala KPP:
1) menerbitkan SKPPKP sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran huruf H PMK-39/2018, dalam hal permohonan pengembalian
pendahuluan:
a) memenuhi kewajiban formal sebagaimana dimaksud pada huruf g;
dan
b) berdasarkan penelitian materiil sebagaimana dimaksud pada huruf h
terdapat kelebihan pembayaran pajak yang dapat dikembalikan; atau
2) tidak menerbitkan SKPPKP dan menerbitkan surat pemberitahuan kepada PKP
sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G
PMK-39/2018, dalam hal permohonan pengembalian pendahuluan:
a) tidak memenuhi kewajiban formal sebagaimana dimaksud pada
huruf g; atau
b) berdasarkan penelitian materiil sebagaimana dimaksud pada huruf h
tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang dapat dikembalikan.
q. Dalam hal berdasarkan hasil penelitian PKP tidak diterbitkan SKPPKP karena tidak
memenuhi kewajiban formal, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
tersebut ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP.
r. Dalam hal saat penelitian kewajiban formal dalam rangka pengembalian pendahuluan
sesuai PMK-86/2020 juga diketahui PKP memiliki penetapan sebagai PKP Berisiko
Rendah yang diterbitkan berdasarkan PMK-39/2018 namun tidak memenuhi syarat
berlakunya keputusan penetapan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, maka KPP
menindaklanjuti dengan melakukan pencabutan keputusan Penetapan sebagai PKP
Berisiko Rendah yang dilakukan berdasarkan prosedur sebagaimana dimaksud pada
huruf E angka 9 SE-10/PJ/2018.
s. Dalam hal berdasarkan hasil penelitian PKP tidak diterbitkan SKPPKP karena tidak
memenuhi persyaratan materiil, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak tersebut ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP.
t. Dalam hal jumlah kelebihan pembayaran pajak dalam SKPPKP tidak sama dengan
jumlah lebih bayar dalam SPT Masa PPN, maka pengembalian atas selisih kelebihan
pembayaran pajak yang belum dikembalikan dalam SKPPKP tersebut diproses dalam
hal PKP Berisiko Rendah mengajukan kembali permohonan pengembalian pendahuluan
melalui surat tersendiri sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Huruf F PMK-39/2018.
u. Surat tersendiri sebagaimana dimaksud pada huruf t disampaikan paling lama tanggal
31 Januari 2021. Dalam hal permohonan pengembalian pendahuluan melalui surat
tersendiri disampaikan setelah 31 Januari 2021, Kepala KPP tidak menerbitkan SKPPKP
dan menindaklanjuti permohonan tersebut dengan menerbitkan surat pemberitahuan
kepada PKP sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G
PMK-39/2018.
v. Dalam hal terdapat selisih kelebihan pembayaran pajak yang belum dikembalikan dalam
SKPPKP dan jangka waktu 31 Januari 2021 telah berakhir, selisih kelebihan pembayaran
pajak yang belum dikembalikan tersebut dapat dikompensasikan ke masa pajak
berikutnya dengan melakukan pembetulan SPT Masa PPN.
w. Dalam hal PKP menyampaikan pembetulan SPT Masa PPN yang diajukan permohonan
pengembalian pendahuluan sebelum diterbitkan SKPPKP dan SPT pembetulan tersebut
telah diterima secara lengkap, maka dasar penerbitan SKPPKP adalah SPT pembetulan,
dan jangka waktu pengembalian pendahuluan dihitung sejak diterimanya SPT
pembetulan.
x. Dalam hal setelah diterbitkan SKPPKP, PKP menyampaikan SPT Masa PPN pembetulan
yang menyatakan lebih bayar dan mengajukan permohonan pengembalian
pendahuluan, serta atas SPT Masa PPN pembetulan tersebut telah dinyatakan lengkap
maka kelebihan pembayaran pajak yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan
yaitu kredit pajak yang belum dilaporkan dalam SPT Masa PPN yang dilakukan
pembetulan yang telah diterbitkan SKPPKP.
y. Dalam hal setelah diterbitkan SKPPKP, PKP menyampaikan SPT Masa PPN pembetulan
yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar yang lebih kecil dibandingkan
dengan nilai SKPPKP pada bagian II huruf D Formulir SPT Masa PPN 1111 dan PKP
mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan, serta atas SPT pembetulan
tersebut telah dinyatakan lengkap maka SPT Masa PPN pembetulan tersebut akan
mengakibatkan PPN kurang bayar pada bagian II huruf F Formulir SPT Masa PPN 1111
setelah memperhitungkan nilai SKPPKP pada bagian II huruf E Formulir SPT Masa PPN
1111. Untuk selanjutnya:
1) SKPPKP tetap ditindaklanjuti dengan penerbitan SKPKPP; dan
2) PKP dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2a) Undang-Undang KUP.
z. Dalam hal PKP menyampaikan SPT Masa PPN pembetulan tidak memperhitungkan nilai
SKPPKP yang telah diterbitkan pada bagian II huruf D Formulir SPT Masa PPN 1111,
dan dalam hal jika nilai SKPPKP tersebut diperhitungkan mengakibatkan SPT Masa PPN
pembetulan menjadi kurang bayar, maka ditindak lanjuti dengan:
1) menyampaikan SP2DK kepada PKP tersebut untuk melakukan pembetulan
SPT Masa PPN; dan
2) menerbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP dalam hal PKP tidak melakukan
pembetulan SPT Masa PPN sebagaimana dimaksud pada angka 1).
aa. Dalam hal telah diterbitkan SKPPKP dan PKP menyampaikan SPT Masa PPN pembetulan
dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sesuai dengan
ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP, atas kelebihan pembayaran pajak
berdasarkan SPT pembetulan diproses melalui ketentuan Pasal 17B Undang-Undang
KUP.
bb. SKPPKP atau pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada huruf p, diterbitkan paling
lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan.
cc. Yang dimaksud dengan tanggal diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud pada
huruf bb adalah:
1) tanggal bukti penerimaan SPT Masa PPN atau surat permohonan, dalam hal
SPT Masa PPN atau surat permohonan disampaikan secara langsung;
2) tanggal penyampaian SPT Masa PPN atau surat permohonan secara lengkap,
dalam hal SPT atau surat permohonan disampaikan melalui pos, perusahaan
jasa ekspedisi, atau jasa kurir; atau
3) tanggal penyampaian SPT Masa PPN atau surat permohonan secara lengkap,
dalam hal SPT Masa PPN atau surat permohonan disampaikan melalui saluran
tertentu (e-filing) yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak.
dd. Tanggal penyampaian SPT Masa PPN diterima secara lengkap sebagaimana dimaksud
pada huruf cc ditentukan berdasarkan penelitian SPT Masa PPN yang dilakukan oleh
KPP sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur mengenai tata
cara penyampaian, penerimaan, dan pengolahan Surat Pemberitahuan.
ee. Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf bb terlampaui dan Kepala
KPP tidak menerbitkan SKPPKP atau pemberitahuan, permohonan PKP dianggap
dikabulkan dan Kepala KPP menerbitkan SKPPKP paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf bb berakhir.
ff. SKPPKP yang telah diterbitkan ditindaklanjuti dengan penerbitan SKPKPP sesuai dengan
ketentuan dan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 244/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan
Pembayaran Pajak.
gg. Prosedur penyelesaian pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi
Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah yaitu sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran
huruf A yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur
Jenderal ini.
10. Ketentuan mengenai kode KLU yang mendapatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, pembebasan PPh
Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran PPN
a. Bagi Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak yang telah memiliki kewajiban menyampaikan
SPT Tahunan PPh pada tahun 2018, kode KLU yang digunakan yaitu kode KLU
sebagaimana yang tercantum dan telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Tahun
Pajak 2018 baik:
1) SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 status normal; atau
2) SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 status pembetulan, yang disampaikan oleh
Wajib Pajak baik sebelum maupun setelah tanggal berlakunya PMK-86/2020.
b. Bagi Pemberi Kerja yang belum atau tidak memiliki kewajiban penyampaian SPT
Tahunan PPh Tahun Pajak 2018, kode KLU yang digunakan sebagai dasar pemberian
insentif PPh Pasal 21 DTP yaitu kode KLU yang terdapat dalam administrasi perpajakan
(Master File) Wajib Pajak Pusat.
c. Bagi Wajib Pajak yang baru terdaftar setelah Tahun Pajak 2018, kode KLU yang
digunakan sebagai dasar pemberian insentif pembebasan PPh Pasal 22 Impor dan
pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 yaitu kode KLU yang terdapat dalam
administrasi perpajakan (Master File) Wajib Pajak.
d. Dalam hal terdapat ketidaksesuaian kode KLU sehingga Pemberi Kerja dan/atau Wajib
Pajak tidak termasuk dalam kode KLU dalam lampiran PMK-86/2020 padahal KLU yang
sebenarnya termasuk dalam lampiran tersebut, karena beberapa sebab di antaranya :
1) tidak menuliskan kode KLU pada SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018;
2) belum melakukan pelaporan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018; atau
3) salah mencantumkan kode KLU pada SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018,
Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan KLU tersebut
melalui penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 baik berstatus normal atau
pembetulan, sepanjang atas SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 belum dilakukan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang KUP.
e. Dalam hal SPT Tahunan Tahun Pajak 2018 sudah atau sedang dilakukan pemeriksaan,
kode KLU yang digunakan yaitu kode KLU sebagaimana yang tercantum dalam Master
File Wajib Pajak, dengan ketentuan bahwa Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak:
1) dapat melakukan perubahan kode KLU melalui penyampaian permohonan
perubahan data sehingga sesuai dengan kode KLU yang sebenarnya; atau
2) tidak perlu melakukan perubahan kode KLU dalam hal kode KLU Pemberi Kerja
dan/atau Wajib Pajak telah sesuai dengan KLU yang sebenarnya.
f. Dalam hal Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak mencantumkan kode KLU dalam SPT
Tahunan PPh Tahun Pajak 2018, baik yang berstatus normal atau pembetulan,
termasuk dalam kode KLU dalam lampiran PMK-86/2020, namun kode KLU dalam SPT
tersebut berbeda dengan kode KLU pada:
1) Surat Keterangan Terdaftar Wajib Pajak; atau
2) Master File Wajib Pajak,
maka Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak tersebut tetap berhak mendapatkan insentif
PPh Pasal 21 DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran
PPh Pasal 25, dan/atau pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN.
11. Ketentuan mengenai perusahaan KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha
Kawasan Berikat, atau izin PDKB yang mendapatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, pembebasan
PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran PPN
a. Pengajuan pemberitahuan/permohonan dilampiri dengan Keputusan Menteri Keuangan
mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat,
izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB.
b. Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf a yaitu Keputusan
Menteri Keuangan yang ditetapkan sebelum dan setelah PMK-86/2020 berlaku.
12. Tata cara pengawasan atas pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, PPh final PP 23 DTP, PPh
final jasa konstruksi DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran
PPh Pasal 25, dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN
a. Pengawasan atas pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, pembebasan PPh Pasal 22
Impor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran PPN, dan PPh final jasa konstruksi DTP adalah sebagai berikut:
1) dalam hal Pemberi Kerja telah memanfaatkan fasilitas insentif PPh Pasal 21
DTP kemudian diketahui berdasarkan data dan/atau informasi yang
menunjukkan keadaan sebenarnya bahwa Pemberi Kerja tidak termasuk KLU
dalam lampiran PMK-86/2020 atau tidak berhak mendapatkan insentif PPh
Pasal 21 DTP, maka diterbitkan SP2DK agar Pemberi Kerja menyetorkan
kembali PPh Pasal 21 terutang yang seharusnya dipotong dan melakukan
pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21;
2) dalam hal Wajib Pajak telah memanfaatkan pembebasan PPh Pasal 22 Impor
dan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 padahal berdasarkan data
dan/atau informasi yang diketahui bahwa Wajib Pajak tidak termasuk KLU
dalam Lampiran PMK-86/2020 atau tidak termasuk perusahaan yang
mendapatkan fasilitas KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin
Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB, maka diterbitkan SP2DK agar
Wajib Pajak melakukan pembayaran PPh Pasal 22 Impor dan PPh Pasal 25;
3) dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pembetulan sebagaimana dimaksud
pada angka 1), dapat diterbitkan Surat Tagihan Pajak sesuai Pasal 14 ayat (1)
huruf b Undang-Undang KUP untuk menagih kekurangan pembayaran PPh
Pasal 21 terutang sebagaimana dimaksud pada angka 1);
4) penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 3) tidak
dilakukan jika Wajib Pajak selaku Pemberi Kerja telah memperhitungkan dan
membayar kekurangan pemotongan PPh Pasal 21 yang seharusnya tidak
mendapatkan fasilitas PPh Pasal 21 DTP dalam penghitungan PPh Pasal 21
terutang di Masa Pajak Desember;
5) dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pembetulan sebagaimana dimaksud
pada angka 2), dapat diterbitkan Surat Tagihan Pajak sesuai Pasal 14 ayat (1)
huruf a Undang-Undang KUP;
6) penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 5) tidak
dilakukan jika SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2020 telah disampaikan;
7) penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 3) atau
angka 5), dilakukan dengan terlebih dahulu memastikan kebenaran KLU dalam
SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 melalui pelaksanaan pemeriksaan tujuan
lain dalam rangka pencocokan data dan/atau alat keterangan atau pemeriksaan
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;
8) hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 7) juga dapat digunakan
sebagai dasar perubahan data KLU Wajib Pajak dalam Master File Wajib Pajak;
9) dalam hal terdapat:
a) kelebihan pembayaran PPh yang diperhitungkan sebagaimana
dimaksud dalam angka 6 huruf h; dan
b) kekurangan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 Masa Pajak Agustus
2020 atau Masa Pajak berikutnya (Masa Pajak bersangkutan),
KPP memastikan bahwa pembayaran angsuran PPh Pasal 25 Masa Pajak
bersangkutan ditambah kelebihan pembayaran PPh yang diperhitungkan
sebagaimana dimaksud dalam angka 6 huruf h adalah sebesar 50% (lima
puluh persen) dari angsuran PPh Pasal 25 yang seharusnya terutang pada
Masa Pajak bersangkutan;
10) dalam hal PKP telah diterbitkan SKPPKP, namun berdasarkan data dan/atau
informasi yang menunjukkan keadaan sebenarnya bahwa Wajib Pajak tidak
termasuk KLU dalam lampiran PMK-86/2020 atau tidak termasuk perusahaan
yang mendapatkan pengembalian pendahuluan, maka terhadap Masa Pajak
diterbitkannya SKPPKP diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan;
11) Kepala KPP berwenang melakukan pembinaan, penelitian, pengawasan
dan/atau pengujian kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang memanfaatkan
fasilitas PPh final jasa konstruksi DTP sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
b. Pengawasan atas pemanfaatan insentif PPh final PP 23 DTP adalah sebagai berikut:
1) dalam hal Wajib Pajak telah memanfaatkan insentif PPh final PP 23 DTP,
namun tidak menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) PMK-86/2020, maka Wajib Pajak tersebut tidak dapat
memanfaatkan insentif PPh final PP 23 DTP dan:
a) wajib menyetorkan PPh final sebesar 0,5% atas penghasilan dari usaha
yang dikenai PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018; atau
b) wajib melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan umum
Undang-Undang PPh atas penghasilan selain penghasilan sebagaimana
dimaksud huruf a);
2) dalam hal Wajib Pajak telah memanfaatkan insentif PPh final PP 23 DTP serta
menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) PMK-86/2020, namun tidak termasuk Wajib Pajak yang dikenai PPh
berdasarkan PP 23 Tahun 2018, maka atas penghasilan tersebut Wajib Pajak:
a) tidak dapat memanfaatkan PPh final PP 23 DTP; dan
b) wajib melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan umum
Undang-Undang PPh;
3) Kepala KPP berwenang melakukan pembinaan, penelitian, pengawasan
dan/atau pengujian kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang memanfaatkan
fasilitas PPh final PP 23 DTP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan.
F. Penutup
1. Dengan berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, maka Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor SE-43/PJ/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus
Disease 2019 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
2. Surat Edaran Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkannya Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020 yaitu tanggal 14 Agustus 2020.
3. Dengan diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, diminta agar seluruh unit terkait
di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak melakukan pengawasan sehubungan dengan
pelaksanaan Surat Edaran Direktur Jenderal ini di lingkungan wilayah kerja masing-masing.
Demikian Surat Edaran Direktur Jenderal ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana
mestinya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Agustus 2020
DIREKTUR JENDERAL,
ttd.
SURYO UTOMO
Labels: Income Tax, Indonesian Tax, VAT
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home