Tuesday, September 29, 2020

SE-47/PJ/2020 - Petunjuk Pelaksanaan PMK 110/PMK.03/2020 Insentif Pajak Dampak Covid-19

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

 

25 Agustus 2020


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 47/PJ/2020

TENTANG
 
PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 86/PMK.03/2020 TENTANG INSENTIF PAJAK UNTUK WAJIB PAJAK
TERDAMPAK PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 SEBAGAIMANA TELAH
DIUBAH DENGAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 110/PMK.03/2020


DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


A.     Umum

    Sehubungan dengan telah diundangkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020 tentang
    Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib
    Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019, yang mengatur mengenai pemberian tambahan
    pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 dan insentif PPh DTP atas penghasilan jasa konstruksi
    tertentu untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi, produktivitas dan daya beli masyarakat serta
    membantu cash flow Wajib Pajak terkait dengan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), perlu
    menetapkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak mengenai petunjuk pelaksanaan Peraturan Menteri
    Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona
    Virus Disease 2019 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
    110/PMK.03/2020 (yang selanjutnya disebut PMK-86/2020).


B.     Maksud dan Tujuan

    1.     Maksud

        Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman mengenai
        pelaksanaan PMK-86/2020.

    2.     Tujuan

        Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk:
        a.     menciptakan keseragaman dalam pelaksanaan PMK-86/2020;
        b.     menjelaskan mengenai tata cara:
            1)     penyampaian pemberitahuan/permohonan pemanfaatan insentif pajak oleh
                Pemberi Kerja/Wajib Pajak;
            2)     penyampaian surat pemberitahuan bahwa Pemberi Kerja/Wajib Pajak tidak
                berhak memanfaatkan insentif pajak;
            3)     pelaporan realisasi pemanfaatan insentif pajak; dan
            4)     pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai.


C.     Ruang Lingkup

    Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal ini meliputi:
    1.     pengertian;
    2.     tata cara pemberian insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung Pemerintah (PPh
        Pasal 21 DTP);
    3.     tata cara pemberian insentif PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 ditanggung Pemerintah
        (PPh final PP 23 DTP);
    4.     tata cara pemberian insentif PPh final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi ditanggung
        Pemerintah (PPh final jasa konstruksi DTP);
    5.     tata cara pembebasan PPh Pasal 22 Impor;
    6.     tata cara pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25;
    7.     ketentuan mengenai penyampaian kembali pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21
        DTP, permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dan/atau
        pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25.
    8.     tata cara penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, PPh final PP 23
        DTP, PPh final jasa konstruksi DTP, pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dan/atau
        pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25;
    9.     tata cara pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN);
    10.     ketentuan terkait kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) yang mendapatkan insentif PPh
        Pasal 21 DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25,
        dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN;
    11.     ketentuan terkait perusahaan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), Penyelenggara Kawasan
        Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, dan Pengusaha di Kawasan Berikat merangkap
        Penyelenggara di Kawasan Berikat (PDKB) yang mendapatkan insentif PPh Pasal 21 DTP,
        pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dan
        pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN; dan
    12.     tata cara pengawasan atas pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, PPh final PP 23 DTP, PPh
        final jasa konstruksi DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran
        PPh Pasal 25, dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN.


D.     Dasar

    1.     Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
        sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
        (Undang-Undang KUP);
    2.     Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
        kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-Undang PPh);
    3.     Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
        Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
        Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Undang-Undang PPN);
    4.     Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
    5.     Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;
    6.     Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
        Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
        Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam
        Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas
        Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (UU 2 Tahun 2020);
    7.     Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
        Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor
        40 Tahun 2009 (PP 51 Tahun 2008);
    8.     Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
        Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
        (PP 23 Tahun 2018);
    9.     Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan
        Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
        Pribadi;
    10.     Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengembalian atas
        Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang;
    11.     Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-244/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan
        dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak;
    12.     Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan
        Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang
        Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
        Keuangan Nomor 110/PMK.03/2018;
    13.     Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian
        Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
        Keuangan Nomor 117/PMK.03/2019 (PMK-39/2018);
    14.     Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
        Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima
        atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
    15.     Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2018 tentang Pembebasan Bea Masuk dan
        Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
        Barang Mewah atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang
        Lain dengan Tujuan untuk Diekspor;
    16.     Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2018 tentang Penghitungan Angsuran Pajak
        Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Baru,
        Bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa, Wajib
        Pajak Lainnya yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala
        dan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu;
    17.     Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak
        Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
        Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020 (PMK-86/2020);
    18.     Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2010 tentang Tata Cara dan Prosedur
        Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan
        Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain sebagaimana telah
        diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2015;
    19.     Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengajuan
        Permohonan Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan oleh Pihak
        Lain sebagaimana telah diubah dengan PER-21/PJ/2014;
    20.     Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
        Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan
        Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
    21.     Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2018 tentang Penetapan Wajib Pajak
        Kriteria Tertentu atau Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah dan Perlakuan atas Selisih
        Kelebihan Pembayaran Pajak yang Belum Dikembalikan dalam Surat Keputusan Pengembalian
        Pendahuluan Kelebihan Pajak;
    22.     Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-09/PJ/2019 tentang Tata Cara Pembatalan dan
        Pencabutan Surat Keterangan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23
        Tahun 2018;
    23.     Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
        Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, dan Pengukuhan Pengusaha Kena
        Pajak; dan
    24.     Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ/2020 tentang Penghitungan Angsuran Pajak
        Penghasilan untuk Tahun Pajak Berjalan Sehubungan dengan Penyesuaian Tarif Pajak
        Penghasilan Wajib Pajak Badan (PER-08/2020).


E.     Materi

    1.     Pengertian

        a.     Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana
            dimaksud dalam Undang-Undang PPh.

        b.     Pemberi Kerja adalah orang pribadi atau badan, baik merupakan pusat maupun cabang,
            perwakilan, atau unit, termasuk Instansi Pemerintah, yang membayar gaji, upah,
            honorarium, tunjangan, dan/atau pembayaran lain dengan nama atau dalam bentuk
            apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh
            Pegawai.

        c.     Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada Pemberi Kerja, berdasarkan
            perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk
            melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan
            memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian
            pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan Pemberi Kerja.

        d.     Kemudahan Impor Tujuan Ekspor yang selanjutnya disebut KITE adalah Kemudahan
            Impor Tujuan Ekspor Pembebasan, Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pengembalian,
            dan/atau Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Industri Kecil dan Menengah sesuai dengan
            ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

        e.     Perusahaan KITE adalah badan usaha yang telah memenuhi ketentuan dan ditetapkan
            melalui keputusan Menteri Keuangan untuk mendapatkan fasilitas KITE sesuai dengan
            ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

        f.     Kawasan Berikat adalah tempat penimbunan berikat untuk menimbun barang impor
            dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau
            digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai sesuai dengan ketentuan
            peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

        g.     Penyelenggara Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan
            menyediakan dan mengelola kawasan untuk kegiatan pengusahaan Kawasan Berikat.

        h.     Penyelenggara Kawasan Berikat sekaligus Pengusaha Kawasan Berikat yang
            selanjutnya disebut Pengusaha Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan
            kegiatan penyelenggaraan sekaligus pengusahaan Kawasan Berikat.

        i.     Pengusaha di Kawasan Berikat merangkap Penyelenggara di Kawasan Berikat yang
            selanjutnya disebut PDKB adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan
            kawasan berikat yang berada di dalam Kawasan Berikat milik Penyelenggara Kawasan
            Berikat yang berstatus sebagai badan hukum yang berbeda.

        j.     Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disebut NPWP adalah nomor yang diberikan
            kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan
            sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan
            kewajiban perpajakannya.

        k.     Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disebut KPP adalah instansi vertikal
            Direktorat Jenderal Pajak.

        l.     Wajib Pajak Berstatus Pusat adalah Wajib Pajak yang terdaftar di KPP dan memiliki
            NPWP dengan kode 3 (tiga) digit terakhir 000.

        m.     Wajib Pajak Berstatus Cabang adalah Wajib Pajak yang terdaftar di KPP dan memiliki
            NPWP dengan kode 3 (tiga) digit terakhir selain 000.

        n.     Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk
            menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu
            tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP.

        o.     Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak
            menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

        p.     Surat Pemberitahuan Tahunan yang selanjutnya disebut SPT Tahunan adalah surat
            pemberitahuan yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan
            dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta
            dan kewajiban untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak sesuai dengan
            ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

        q.     Instansi Pemerintah adalah instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, dan
            instansi pemerintah desa, yang melaksanakan kegiatan pemerintahan serta memiliki
            kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran sebagaimana diatur dalam
            ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

        r.     Pemotong atau Pemungut Pajak adalah Wajib Pajak yang dikenai kewajiban untuk
            melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan
            peraturan perundang-undangan di bidang PPh.

        s.     Surat Keterangan PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 yang
            selanjutnya disebut Surat Keterangan adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor
            Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak yang menerangkan bahwa Wajib
            Pajak dikenai PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.

        t.     Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, yang selanjutnya disingkat
            SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, adalah surat keterangan yang menyatakan
            bahwa Wajib Pajak memperoleh insentif dibebaskan dari pemungutan PPh Pasal 22
            impor berdasarkan PMK-86/2020.

        u.     Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi yang selanjutnya disebut
            P3-TGAI adalah program perbaikan, rehabilitasi, atau peningkatan jaringan irigasi
            dengan berbasis peran serta masyarakat petani yang dilaksanakan oleh Perkumpulan
            Petani Pemakai Air, Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air, atau Induk
            Perkumpulan Petani Pemakai Air.

        v.     Perkumpulan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disebut P3A adalah kelembagaan
            pengelolaan irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah
            layanan/petak tersier atau desa yang dibentuk secara demokratis oleh petani pemakai
            air termasuk lembaga lokal pengelola irigasi.

        w.     Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disebut GP3A adalah
            kelembagaan sejumlah P3A yang bersepakat bekerja sama memanfaatkan air irigasi
            dan jaringan irigasi pada daerah layanan blok sekunder, gabungan beberapa blok
            sekunder, atau satu daerah irigasi.

        x.     Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disebut IP3A adalah
            kelembagaan sejumlah GP3A yang bersepakat bekerja sama untuk memanfaatkan air
            irigasi dan jaringan irigasi pada daerah layanan blok primer, gabungan beberapa blok
            primer, atau satu daerah irigasi.

        y.     Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah Pejabat yang diberi
            kewenangan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk mengambil
            keputusan dan/atau tindakan dalam rangka pelaksanaan P3-TGAI di Direktorat
            Jenderal Sumber Daya Air.

        z.     Wajib Pajak Penerima P3-TGAI adalah P3A, GP3A, dan/atau IP3A yang melaksanakan
            P3-TGAI sebagaimana telah ditetapkan oleh PPK dan disahkan oleh Kepala Satuan Kerja
            Balai Besar Wilayah Sungai atau Balai Wilayah Sungai Kementerian Pekerjaan Umum
            dan Perumahan Rakyat.

        aa.     Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai
            sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.

        bb.     Pengusaha Kena Pajak yang selanjutnya disebut PKP adalah pengusaha yang
            melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
            dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.

    2.     Tata cara pemberian insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah (PPh Pasal 21 DTP)

        a.     PPh Pasal 21 DTP diberikan kepada Pegawai dengan kriteria:
            1)     menerima atau memperoleh penghasilan dari Pemberi Kerja yang:
                a)     memiliki KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A
                    PMK-86/2020;
                b)     telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau
                c)     telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin
                    Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB;
            2)     memiliki NPWP; dan
            3)     pada Masa Pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh Penghasilan
                Bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari
                Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

        b.     Tata cara penyampaian pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP
            dilakukan melalui sarana elektronik yang disediakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
            sebagai berikut:
            1)     Pemberi Kerja mengajukan pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21
                DTP secara daring (online) melalui laman www.pajak.go.id;
            2)     dalam hal Pemberi Kerja merupakan Wajib Pajak Pusat dengan kode KLU
                sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a angka 1 PMK-86/2020
                dan memiliki cabang, pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21
                ditanggung Pemerintah baik untuk pusat maupun cabang dilakukan oleh Wajib
                Pajak Pusat;
            3)     dalam hal Pemberi kerja yang memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP
                berdasarkan kriteria Perusahaan KITE atau mendapatkan izin Penyelenggara
                Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB,
                pemberitahuan pemanfaatan insentif diajukan oleh Wajib Pajak Pusat dan/atau
                Wajib Pajak Cabang yang memenuhi kriteria;
            4)     jika hasil pengecekan sistem aplikasi pada laman www.pajak.go.id, Pemberi
                Kerja dinyatakan:
                a)     berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, sistem aplikasi akan
                    menyampaikan notifikasi bahwa Pemberi Kerja telah berhasil
                    menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP;
                b)     tidak berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, sistem aplikasi
                    akan menerbitkan surat pemberitahuan bahwa Pemberi Kerja tidak
                    berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP.

        c.     Insentif PPh Pasal 21 DTP diberikan sejak Masa Pajak pemberitahuan disampaikan
            sampai dengan Masa Pajak Desember 2020.

        d.     Dengan mempertimbangkan bahwa PMK-86/2020 diundangkan pada tanggal
            16 Juli 2020, maka pemberitahuan untuk memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP
            untuk Masa Pajak Juli 2020 dapat disampaikan paling lambat tanggal 10 Agustus 2020.

        e.     Tata cara pembuatan Surat Setoran Pajak PPh Pasal 21 DTP dan cetakan kode billing
            sebagai berikut:
            1)     Pemberi Kerja, baik Wajib Pajak Pusat maupun Wajib Pajak Cabang, yang
                telah menyampaikan pemberitahuan atas PPh Pasal 21 DTP sebagaimana
                dimaksud pada huruf b angka 2) dan angka 3) wajib membuat Surat Setoran
                Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan "PPh PASAL 21
                DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 86/PMK.03/2020";
            2)     dalam hal Pemberi Kerja telah menggunakan aplikasi e-SPT PPh Pasal 21
                sebagai sarana penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT), maka perekaman
                kode NTPN diganti perekaman kode billing dengan diawali angka 9 secara
                elektronik pada aplikasi e-SPT dan jumlah Rupiah sebesar nilai PPh Pasal 21
                DTP (misalnya: kode billing yang terbentuk adalah 123456789012345, maka
                kolom NTPN dalam e-SPT diisi dengan 9123456789012345);
            3)     Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing sebagaimana dimaksud pada
                angka 1) disimpan dan diadministrasikan oleh Pemberi Kerja.

        f.     Dalam hal Pemberi Kerja memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a
            angka 1) huruf a), huruf b), atau huruf c), namun Pemberi Kerja telah melakukan
            pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diberikan kepada pegawai, maka:
            1)     Pemberi Kerja dapat melakukan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21;
            2)     kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 sebagai akibat pembetulan SPT
                sebagaimana dimaksud pada angka 1) dapat:
                a)     dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya, dalam hal pada Masa
                    Pajak berikutnya terdapat PPh Pasal 21 terutang yang tidak diberikan
                    insentif DTP, paling sedikit sebesar kelebihan pembayaran PPh
                    Pasal 21 tersebut; atau
                b)     diajukan pemindahbukuan atas keseluruhan kelebihan pembayaran
                    PPh Pasal 21 dalam hal pada Masa Pajak berikutnya tidak terdapat
                    PPh Pasal 21 terutang yang tidak diberikan insentif DTP, atau atas
                    selisih kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 dalam hal PPh Pasal 21
                    terutang yang tidak diberikan insentif DTP lebih kecil dibandingkan
                    dengan kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 yang mendapatkan
                    insentif PPh Pasal 21 DTP;
            3)     dan atas PPh Pasal 21 yang terlanjur dipotong oleh Pemberi Kerja, dibayarkan
                kepada Pegawai.

        g.     Dalam hal Keputusan Menteri Keuangan tentang penetapan Perusahaan KITE, izin
            Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB
            dicabut, insentif PPh Pasal 21 DTP berakhir sampai dengan Masa Pajak dilakukannya
            pencabutan.

        h.     Dikecualikan dari pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP, dalam hal penghasilan yang
            diterima Pegawai berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
            Pendapatan dan Belanja Daerah, dan PPh Pasal 21 telah ditanggung Pemerintah
            berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.

        i.     Dalam hal pegawai yang menerima insentif PPh Pasal 21 DTP menyampaikan SPT
            Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 2020 dan menyatakan kelebihan pembayaran,
            maka kelebihan pembayaran yang berasal dari PPh Pasal 21 DTP sebagaimana
            dimaksud pada huruf a tidak dapat dikembalikan.

    3.     Tata cara pemberian insentif PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 ditanggung Pemerintah
        (PPh final PP 23 DTP)

        a.     Insentif PPh final PP 23 DTP diberikan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran
            bruto tertentu terhadap PPh final yang terutang atas penghasilan usaha sebagaimana
            diatur dalam PP 23 Tahun 2018.

        b.     Pemanfaatan insentif PPh final PP 23 DTP dilakukan dengan menyampaikan laporan
            realisasi secara daring (online) melalui laman www.pajak.go.id paling lambat tanggal
            20 pada bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

        c.     Penyampaian laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada huruf b bagi Wajib Pajak
            yang belum memiliki Surat Keterangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur
            dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.03/2018, dapat diperlakukan
            sebagai pengajuan Surat Keterangan dan terhadap Wajib Pajak tersebut dapat
            diterbitkan Surat Keterangan.

        d.     Kewajiban penyampaian SPT Masa PPh dianggap telah dipenuhi, jika Wajib Pajak telah
            memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf b.

        e.     Dalam hal Wajib Pajak tidak memiliki peredaran usaha pada bulan tertentu, Wajib Pajak
            tidak wajib menyampaikan SPT Masa PPh.

        f.     Insentif PPh final PP 23 DTP diberikan untuk Masa Pajak April 2020 sampai dengan
            Masa Pajak Desember 2020.

        g.     Penghasilan yang menjadi dasar penghitungan PPh final PP 23 DTP yaitu penghasilan
            dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto
            tertentu dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 2 PP 23 Tahun 2018.

        h.     Tata cara konfirmasi Surat Keterangan oleh Pemotong atau Pemungut Pajak sebagai
            berikut:
            1)     Pemotong atau Pemungut Pajak, dalam kedudukannya sebagai pembeli atau
                pengguna jasa, melakukan pemotongan atau pemungutan PPh final
                berdasarkan PP 23 Tahun 2018 dalam hal:
                a)     Wajib Pajak menyerahkan fotokopi Surat Keterangan;
                b)     transaksi penjualan atau penyerahan jasa termasuk dalam kelompok
                    penghasilan dari usaha yang dikenai PPh final berdasarkan
                    PP 23 Tahun 2018; dan
                c)     transaksi penjualan atau penyerahan jasa termasuk objek pemotongan
                    atau pemungutan PPh sesuai ketentuan umum Undang-Undang PPh;
            2)     saat terutang PPh atas transaksi dengan pihak pemotong atau pemungut
                berdasarkan PP 23 Tahun 2018 mengikuti ketentuan yang mengatur mengenai
                pemotongan atau pemungutan PPh sesuai ketentuan umum Undang-Undang
                PPh;
            3)     sebelum melakukan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud
                pada angka 1), Pemotong atau Pemungut Pajak melakukan konfirmasi atas
                kebenaran Surat Keterangan yang diserahkan oleh Wajib Pajak antara lain
                dengan cara:
                a)     scan barcode;
                b)     mengakses laman www.pajak.go.id; atau
                c)     menghubungi Kring Pajak;
            4)     dalam hal Surat Keterangan sesuai hasil konfirmasi menyatakan bahwa:
                a)     terkonfirmasi, maka Pemotong atau Pemungut Pajak membuat Surat
                    Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan
                    "PPh FINAL DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR
                    86/PMK.03/2020" dan tidak melakukan pemotongan atau pemungutan
                    PPh; atau
                b)     tidak terkonfirmasi, maka Pemotong atau Pemungut Pajak melakukan
                    pemotongan atau pemungutan PPh sesuai ketentuan umum
                    Undang-Undang PPh;
            5)     untuk transaksi impor atau pembelian barang, jika Surat Keterangan
                terkonfirmasi Surat Keterangan berfungsi juga sebagai Surat Keterangan
                Bebas;
            6)     Pemotong atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 4) huruf a)
                wajib melaporkan Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi
                cap atau tulisan "PPh FINAL DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR
                86/PMK.03/2020" dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2);
            7)     dalam hal Pemotong atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada
                angka 6) telah menggunakan aplikasi e-SPT PPh Pasal 4 ayat (2) sebagai
                sarana penyampaian SPT, maka perekaman kode NTPN diganti perekaman
                kode billing dengan diawali angka 9 dan jumlah Rupiah sebesar nilai PPh final
                PP 23 DTP (misalnya: kode billing yang terbentuk adalah 123456789012345,
                maka kolom NTPN dalam e-SPT diisi dengan 9123456789012345);
            8)     Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing sebagaimana dimaksud pada
                angka 4) huruf a disimpan dan diadministrasikan oleh Wajib Pajak;
            9)     dalam hal terdapat kelebihan pembayaran PPh final berdasarkan PP 23 Tahun
                2018 yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain karena Wajib Pajak
                memanfaatkan insentif sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka kelebihan
                pembayaran PPh tersebut dapat:
                a)     diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak
                    terutang oleh Wajib Pajak; atau
                b)     diajukan permohonan pemindahbukuan oleh Pemotong atau Pemungut
                    Pajak di KPP tempat pembayaran diadministrasikan, ke pembayaran
                    pajak Wajib Pajak.

    4.     Tata cara pemberian insentif PPh final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi ditanggung
        Pemerintah (PPh final jasa konstruksi DTP)

        a.     PPh final jasa konstruksi DTP diberikan kepada Wajib Pajak Penerima P3-TGAI.

        b.     Insentif PPh final jasa konstruksi DTP diberikan sejak Peraturan Menteri Keuangan
            Nomor 110/PMK.03/2020 diundangkan sampai dengan Masa Pajak Desember 2020.

        c.     Tata cara pembuatan Surat Setoran Pajak PPh final jasa konstruksi DTP dan cetakan
            kode billing sebagai berikut:
            1)     Pemotong Pajak wajib membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing
                yang dibubuhi cap atau tulisan "PPh FINAL JASA KONSTRUKSI DITANGGUNG
                PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 86/PMK.03/2020";
            2)     Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing sebagaimana dimaksud pada
                angka 1) disimpan dan diadministrasikan oleh Pemotong Pajak.

        d.     Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf c angka 1) wajib melaporkan
            Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan "PPh FINAL
            JASA KONSTRUKSI DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 86/PMK.03/2020"
            dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2).

        e.     Dalam hal Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud huruf c pada angka 1) telah
            menggunakan aplikasi e-SPT PPh Pasal 4 ayat (2) sebagai sarana penyampaian SPT,
            perekaman kode NTPN diganti perekaman kode billing dengan diawali angka 9 dan
            jumlah Rupiah sebesar nilai PPh final jasa konstruksi DTP (misalnya: kode billing yang
            terbentuk adalah 123456789012345, maka kolom NTPN dalam e-SPT diisi dengan
            9123456789012345).

        f.     Dalam hal Pemotong Pajak telah melakukan pemotongan PPh final atas penghasilan
            dari usaha jasa konstruksi yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Penerima P3-TGAI
            sejak diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020, PPh yang
            telah dipotong tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang
            seharusnya tidak terutang oleh Wajib Pajak Penerima P3-TGAI ke KPP tempat Wajib
            Pajak Penerima P3-TGAI terdaftar.

    5.     Tata cara pembebasan PPh Pasal 22 Impor

        a.     Wajib Pajak dibebaskan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dengan kriteria:
            1)     memiliki kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H
                PMK-86/2020;
            2)     telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau
            3)     telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha
                Kawasan Berikat, atau izin PDKB, pada saat pengeluaran barang dari Kawasan
                Berikat ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean.

        b.     Pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada
            huruf a diberikan melalui SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor.

        c.     Tata cara penyampaian permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagai
            berikut:
            1)     Wajib Pajak menyampaikan permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor
                secara daring (online) pada menu Permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22
                Impor melalui laman www.pajak.go.id;
            2)     atas permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud
                pada angka 1), berdasarkan pengecekan sistem akan diterbitkan:
                a)     SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dalam hal Wajib Pajak
                    memenuhi; atau
                b)     Surat Penolakan, dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi,
                kriteria KLU, Perusahaan KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin
                Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB sebagaimana dimaksud pada
                huruf a dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam
                Lampiran huruf J atau huruf K PMK-86/2020;
            3)     SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor atau Surat Penolakan diterbitkan segera
                setelah Wajib Pajak menyampaikan Permohonan SKB Pemungutan PPh
                Pasal 22 Impor melalui laman www.pajak.go.id;
            4)     terkait dengan perpanjangan masa pemberian insentif sampai dengan Masa
                Pajak Desember 2020, dalam hal Wajib Pajak telah memiliki SKB Pemungutan
                PPh Pasal 22 Impor berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
                23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah
                Virus Corona dan/atau Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020
                tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus
                Disease 2019, Wajib Pajak dapat melakukan cetak ulang SKB Pemungutan
                PPh Pasal 22 Impor melalui laman www.pajak.go.id.

        d.     Jangka waktu pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor berlaku sejak tanggal
            SKB diterbitkan sampai dengan tanggal 31 Desember 2020.

        e.     Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dapat melakukan konfirmasi kebenaran SKB
            Pemungutan PPh Pasal 22 Impor yang diperoleh Wajib Pajak melalui sarana daring
            (online) atau layanan yang disediakan oleh DJP.

        f.     Tata cara pencabutan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagai berikut:
            1)     dalam hal terdapat penetapan KMK mengenai pencabutan Perusahaan KITE,
                pencabutan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan
                Berikat, atau izin PDKB diterbitkan oleh DJBC, DJBC mengirimkan data
                dan/atau informasi mengenai KMK pencabutan Perusahaan KITE, izin
                Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB
                yang dicabut kepada DJP;
            2)     berdasarkan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada angka 1),
                DJP secara jabatan melakukan pencabutan SKB Pemungutan PPh Pasal 22
                Impor secara sistem melalui laman www.pajak.go.id;
            3)     atas pencabutan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud
                pada angka 2) Wajib Pajak tidak berhak atas pembebasan pemungutan PPh
                Pasal 22 Impor sejak tanggal diterbitkannya KMK mengenai pencabutan
                Perusahaan KITE, pencabutan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin
                Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB.

    6.     Tata cara pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25

        a.     Pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 diberikan kepada Wajib Pajak dengan
            kriteria:
            1)     memiliki kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf M
                PMK-86/2020;
            2)     telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau
            3)     telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha
                Kawasan Berikat, atau izin PDKB.

        b.     Pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 yaitu 50% (lima puluh persen) dari
            angsuran PPh Pasal 25 yang seharusnya terutang untuk setiap Masa Pajak
            berdasarkan:
            1)     penghitungan angsuran PPh Pasal 25 sesuai dengan SPT Tahunan PPh Tahun
                2019;
            2)     besarnya angsuran PPh Pasal 25 Masa Pajak Desember 2019 dalam hal Wajib
                Pajak belum menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun 2019;
            3)     Keputusan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam hal Wajib
                Pajak mengajukan permohonan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25
                karena penurunan kondisi usaha; atau
            4)     penghitungan angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
                mengenai penghitungan angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak
                berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak baru, bank, Badan Usaha
                Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak masuk bursa, Wajib
                Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan
                keuangan berkala dan Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.

        c.     Penghitungan angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada huruf b
            memperhatikan penyesuaian atau menggunakan tarif PPh sebagaimana disebutkan
            dalam Pasal 5 UU 2 Tahun 2020, yang berlaku sejak Masa Pajak batas waktu
            penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 (Pasal 6 PER-08/2020).

        d.     Tata cara penyampaian pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan besarnya
            angsuran PPh Pasal 25 dilakukan melalui sarana elektronik yang disediakan DJP
            sebagai berikut:
            1)     Wajib Pajak mengajukan pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 25
                secara daring (online) melalui laman www.pajak.go.id;
            2)     dalam hal berdasarkan pengecekan sistem aplikasi pada laman
                www.pajak.go.id Wajib Pajak dinyatakan berhak memanfaatkan insentif PPh
                Pasal 25, sistem aplikasi pada laman www.pajak.go.id akan menyampaikan
                notifikasi bahwa Wajib Pajak telah berhasil menyampaikan pemberitahuan
                pemanfaatan insentif PPh Pasal 25;
            3)     dalam hal berdasarkan pengecekan sistem aplikasi pada laman
                www.pajak.go.id Wajib Pajak dinyatakan tidak berhak memanfaatkan insentif
                PPh Pasal 25, sistem aplikasi pada laman www.pajak.go.id akan menerbitkan
                surat pemberitahuan bahwa Wajib Pajak tidak berhak memanfaatkan insentif
                pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25.

        e.     Insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada
            huruf b diberikan sejak:
            1)     Masa Pajak Juli 2020 bagi Wajib Pajak yang telah menyampaikan
                pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh
                Pasal 25; atau
            2)     Masa Pajak pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan besarnya
                angsuran PPh Pasal 25 disampaikan,
            sampai dengan Masa Pajak Desember 2020.

        f.     Dengan mempertimbangkan bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor
            86/PMK.03/2020 diundangkan pada tanggal 16 Juli 2020 dan Peraturan Menteri
            Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020 diundangkan pada tanggal 14 Agustus 2020, maka
            pemberitahuan untuk memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh
            Pasal 25 untuk Masa Pajak Juli 2020, dapat disampaikan paling lambat tanggal
            15 Agustus 2020.

        g.     Wajib Pajak yang berhak memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh
            Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada huruf e angka 1), berdasarkan:
            1)     Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak
                untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona;
            2)     Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak
                untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019; dan/atau
            3)     Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak
                untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019,
            tetap dapat memanfaatkan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebesar
            30% (tiga puluh persen) dari angsuran PPh Pasal yang seharusnya terutang sampai
            dengan Masa Pajak Juni 2020.

        h.     Dalam hal Wajib Pajak telah melakukan pembayaran PPh Pasal 25 yang seharusnya
            diberikan pengurangan pada Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf e angka 1)
            dan huruf f, kelebihan pembayaran PPh tersebut diperhitungkan sebagai angsuran PPh
            Pasal 25 Masa Pajak berikutnya.

        i.     Dalam hal Wajib Pajak memilih untuk mengajukan pemindahbukuan, kelebihan
            pembayaran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada huruf h tidak dapat
            diperhitungkan sebagai angsuran PPh Pasal 25 Masa Pajak berikutnya.

        j.     Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada huruf i dilakukan sesuai dengan
            ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara
            Pembayaran dan Penyetoran Pajak.

        k.     Dalam hal Keputusan Menteri Keuangan tentang penetapan Perusahaan KITE, izin
            Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB
            dicabut, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 berakhir sampai dengan Masa
            Pajak dilakukannya pencabutan.

    7.     Ketentuan mengenai penyampaian kembali pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21
        DTP, permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dan/atau pemberitahuan pemanfaatan
        insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25

        a.     Dalam hal Pemberi Kerja atau Wajib Pajak mendapat:
            1)     surat pemberitahuan bahwa Pemberi Kerja tidak berhak memanfaatkan
                insentif PPh Pasal 21 DTP;
            2)     surat penolakan atas permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor;
                dan/atau
            3)     surat pemberitahuan bahwa Wajib Pajak tidak berhak memanfaatkan insentif
                pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25,
            sehubungan dengan tidak terpenuhinya persyaratan bahwa Pemberi Kerja/Wajib Pajak
            telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin
            Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB, maka Pemberi Kerja atau Wajib Pajak
            dapat menyampaikan kembali pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP,
            permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dan/atau pemberitahuan
            pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 secara daring
            (online) melalui laman www.pajak.go.id sepanjang:
            a)     telah mendapatkan KMK mengenai penetapan perusahaan KITE, izin
                Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin
                PDKB; atau
            b)     telah memenuhi:
                (1)     ketentuan kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A;
                (2)     ketentuan kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H;
                     dan/atau
                (3)     ketentuan kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf M,
                PMK-86/2020.

        b.     Insentif PPh Pasal 21 DTP dan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 berlaku
            sejak Masa Pajak pemberitahuan kembali disampaikan sampai dengan Masa Pajak
            Desember 2020, sedangkan insentif pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 Impor
            berlaku sejak tanggal SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor diterbitkan sampai dengan
            31 Desember 2020.

    8.     Tata cara penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, PPh final
        PP 23 DTP, PPh final jasa konstruksi DTP, pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 Impor,
        dan/atau pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25

        a.     Pemberi Kerja, Pemotong Pajak, dan/atau Wajib Pajak mengunduh format dan jenis
            file laporan realisasi:
            1)     PPh Pasal 21 DTP;
            2)     PPh final PP 23 DTP;
            3)     PPh final jasa konstruksi DTP; dan/atau
            4)     pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 Impor,
            di laman www.pajak.go.id.

        b.     Wajib Pajak mengisi data realisasi pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25
            di laman www.pajak.go.id.

        c.     Pemberi Kerja mengunggah file laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada huruf a
            angka 1) yang telah diisi dengan lengkap dan benar, termasuk kode billing
            sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) PMK-86/2020, melalui saluran tertentu
            pada laman www.pajak.go.id paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa
            Pajak berakhir.

        d.     Wajib Pajak mengunggah file laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada huruf a
            angka 2) yang telah diisi dengan lengkap dan benar, termasuk kode billing
            sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) PMK-86/2020, melalui saluran tertentu
            pada laman www.pajak.go.id paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa
            Pajak berakhir.

        e.     Dalam hal Wajib Pajak yang telah memanfaatkan insentif PPh final PP 23 DTP
            sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) PMK-86/2020 tidak memiliki penghasilan
            dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) PMK-86/2020 dalam suatu
            Masa Pajak, Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan laporan realisasi sebagaimana
            dimaksud pada huruf a angka 2).

        f.     Pemotong Pajak mengunggah file laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada
            huruf a angka 3) yang telah diisi dengan lengkap dan benar, termasuk kode billing
            sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6B ayat (2) PMK-86/2020, melalui saluran tertentu
            pada laman www.pajak.go.id paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa
            Pajak berakhir.

        g.     Wajib Pajak mengunggah file laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada huruf a
            angka 4) yang telah diisi dengan lengkap dan benar paling lambat:
            1)     tanggal 20 Juli 2020, untuk Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak
                Juni 2020; dan
            2)     tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir, untuk Masa Pajak
                Juli 2020 sampai dengan Masa Pajak Desember 2020,
            melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id.

        h.     Wajib Pajak mengisi data realisasi sebagaimana dimaksud pada huruf b dengan lengkap
            dan benar paling lambat:
            1)     tanggal 20 Juli 2020, untuk Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak
                Juni 2020; dan
            2)     tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir, untuk Masa Pajak
                Juli 2020 sampai dengan Masa Pajak Desember 2020,
            melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id.

        i.     Dalam hal Pemberi Kerja, Pemotong Pajak, dan/atau Wajib Pajak belum menyampaikan
            laporan realisasi sesuai tanggal sebagaimana dimaksud pada huruf c, huruf d, huruf e,
            huruf f, huruf g, dan huruf h sistem informasi DJP akan memberikan notifikasi kepada
            Account Representative Pemberi Kerja, Pemotong Pajak, dan/atau Wajib Pajak
            bersangkutan untuk selanjutnya ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan
            perundang-undangan di bidang perpajakan.

    9.     Tata cara pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN

        a.     KPP tempat PKP diadministrasikan memproses permohonan pengembalian pendahuluan
            kelebihan pembayaran pajak bagi PKP Berisiko Rendah yang diterima berdasarkan:
            1)     SPT, dalam hal PKP mengisi kolom pengembalian pendahuluan kelebihan
                pembayaran pajak berdasarkan Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN dalam
                SPT Masa PPN; atau
            2)     surat permohonan tersendiri sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Huruf F
                PMK-39/2018, untuk permohonan pengembalian pendahuluan atas selisih
                kelebihan pembayaran pajak yang belum dikembalikan dalam Surat Keputusan
                Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) yang diterbitkan
                sebelumnya, sepanjang terhadap PKP belum mulai dilakukan tindakan
                pemeriksaan atau pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka atas Masa
                Pajak yang dimohonkan pengembalian pendahuluan.

        b.     Satu surat permohonan yang disampaikan tersendiri, digunakan untuk 1 (satu) Masa
            Pajak.

        c.     Dalam hal PKP yang mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan Pasal 9
            ayat (4c) Undang-Undang PPN memenuhi persyaratan:
            1)     diajukan oleh PKP yang:
                a)     memiliki KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf P
                    PMK-86/2020;
                b)     telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau
                c)     telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin
                    Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB;
            2)     jumlah lebih bayar dalam SPT yang diajukan pengembalian pendahuluan paling
                banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
            3)     Masa Pajak yang diajukan pengembalian pendahuluan yaitu Masa Pajak April
                2020 sampai dengan Desember 2020; dan
            4)     Permohonan pengembalian pendahuluan disampaikan paling lama tanggal
                31 Januari 2021,
            maka permohonan pengembalian pendahuluan PPN tersebut ditindaklanjuti sesuai
            dengan prosedur pengembalian pendahuluan PKP Berisiko Rendah sebagaimana
            dijelaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

        d.     Dalam hal PKP yang mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan Pasal 9
            ayat (4c) Undang-Undang PPN tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
            pada huruf c maka permohonan pengembalian pendahuluan PPN tersebut
            ditindaklanjuti sesuai dengan prosedur pengembalian pendahuluan sebagaimana
            dijelaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Nomor SE-10/PJ/2018 tentang Petunjuk
            Pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak
            dengan Kriteria Tertentu, Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu, dan
            Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah.

        e.     PKP sebagaimana dimaksud pada huruf c meliputi PKP yang telah ditetapkan sebagai
            PKP Berisiko Rendah maupun PKP yang belum ditetapkan sebagai PKP Berisiko Rendah.

        f.     Kepala KPP menerbitkan SKPPKP berdasarkan penelitian administrasi yang meliputi
            penelitian kewajiban formal dan penelitian materiil pengembalian pendahuluan
            kelebihan pembayaran pajak bagi PKP Berisiko Rendah.

        g.     Penelitian kewajiban formal pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak
            bagi PKP Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud pada huruf f meliputi:
            1)     PKP:
                a)     memiliki kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf P
                    PMK-86/2020; atau
                b)     melampirkan:
                    (1)     Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan sebagai
                        perusahaan yang mendapat fasilitas KITE; atau
                    (2)     Keputusan Menteri Keuangan mengenai izin Penyelenggara
                        Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin
                        PDKB,
                    pada SPT Masa PPN yang di dalamnya terdapat permohonan
                    pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN;
            2)     jumlah lebih bayar dalam SPT Masa PPN termasuk pembetulan SPT Masa PPN
                secara akumulatif tidak melebihi Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
            3)     SPT Masa PPN, pembetulan SPT Masa PPN, termasuk pengajuan surat
                permohonan tersendiri, yang diajukan pengembalian pendahuluan merupakan
                Masa Pajak April sampai dengan Desember 2020 dan disampaikan paling lama
                tanggal 31 Januari 2021;
            4)     PKP tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan
                tindak pidana di bidang perpajakan; dan
            5)     PKP tidak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
                berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
                dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum SPT Masa PPN
                disampaikan.

        h.     Penelitian materiil pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi PKP
            Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud pada huruf c meliputi:
            1)     memastikan kebenaran penulisan dan penghitungan pajak, meliputi kebenaran
                penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan/atau pembagian suatu bilangan
                dalam penghitungan pajak;
            2)     Pajak Masukan, meliputi Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang
                kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, yang dikreditkan oleh PKP
                Berisiko Rendah telah dilaporkan dalam SPT Masa PPN oleh PKP yang
                menerbitkan Faktur Pajak; dan
            3)     Pajak Masukan yang dibayar sendiri oleh PKP Berisiko Rendah telah divalidasi
                dengan NTPN.

        i.     Petugas peneliti tidak perlu melakukan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan
            kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) PMK-39/2018 pada
            Masa Pajak yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan. Kegiatan tertentu
            tersebut meliputi:
            1)     ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
            2)     penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada
                Pemungut PPN;
            3)     penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
                PPN-nya tidak dipungut;
            4)     ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan/atau
            5)     ekspor Jasa Kena Pajak.

        j.     Penelitian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada huruf h angka 2) dilakukan
            berdasarkan aplikasi atau data dan/atau informasi yang tersedia di sistem informasi
            DJP.

        k.     Penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf h dilakukan dengan ketentuan sebagai
            berikut:
            1)     Pajak Masukan yang dikreditkan Wajib Pajak pemohon dan tidak dilaporkan
                dalam SPT Masa PPN PKP yang membuat Faktur Pajak, tidak diperhitungkan
                sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak; dan/atau
            2)     Pajak Masukan yang dilaporkan dalam SPT Masa PPN PKP yang membuat
                Faktur Pajak dan tidak dikreditkan Wajib Pajak pemohon, tidak diperhitungkan
                sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak.

        l.     Penelitian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada huruf h hanya terbatas pada
            Pajak Masukan yang dilaporkan pada SPT Masa PPN lebih bayar Masa Pajak yang
            diajukan permohonan pengembalian, tidak termasuk Pajak Masukan pada SPT Masa
            Pajak sebelumnya yang menyatakan kelebihan pembayaran yang dikompensasikan.

        m.     Atas nilai lebih bayar yang dikompensasikan di Masa Pajak yang dimintakan
            pengembalian pendahuluan diakui sebesar nilai PPN lebih bayar yang dikompensasikan
            dalam SPT Masa PPN Masa Pajak sebelumnya atau SPT Masa PPN Masa Pajak yang
            dilakukan pembetulan dan mengakibatkan lebih bayar yang selanjutnya
            dikompensasikan ke Masa Pajak saat dimintakan pengembalian pendahuluan.

        n.     Pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak tetap diberikan kepada PKP
            meskipun kelebihan pajak disebabkan karena adanya kompensasi Masa Pajak
            sebelumnya dan tidak ada ekspor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
            Jasa Kena Pajak pada Masa Pajak yang dimintakan pengembalian pendahuluan.  

        o.     Setelah SKPPKP diterbitkan, atas SPT Masa PPN lebih bayar kompensasi pada Masa
            Pajak sebelumnya diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan sesuai dengan Surat Edaran
            Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan.

        p.     Berdasarkan hasil penelitian, Kepala KPP:
            1)     menerbitkan SKPPKP sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum
                dalam Lampiran huruf H PMK-39/2018, dalam hal permohonan pengembalian
                pendahuluan:
                a)     memenuhi kewajiban formal sebagaimana dimaksud pada huruf g;
                    dan
                b)     berdasarkan penelitian materiil sebagaimana dimaksud pada huruf h
                    terdapat kelebihan pembayaran pajak yang dapat dikembalikan; atau
            2)     tidak menerbitkan SKPPKP dan menerbitkan surat pemberitahuan kepada PKP
                sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G
                PMK-39/2018, dalam hal permohonan pengembalian pendahuluan:
                a)     tidak memenuhi kewajiban formal sebagaimana dimaksud pada
                    huruf g; atau
                b)     berdasarkan penelitian materiil sebagaimana dimaksud pada huruf h
                    tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang dapat dikembalikan.

        q.     Dalam hal berdasarkan hasil penelitian PKP tidak diterbitkan SKPPKP karena tidak
            memenuhi kewajiban formal, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
            tersebut ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP.

        r.     Dalam hal saat penelitian kewajiban formal dalam rangka pengembalian pendahuluan
            sesuai PMK-86/2020 juga diketahui PKP memiliki penetapan sebagai PKP Berisiko
            Rendah yang diterbitkan berdasarkan PMK-39/2018 namun tidak memenuhi syarat
            berlakunya keputusan penetapan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, maka KPP
            menindaklanjuti dengan melakukan pencabutan keputusan Penetapan sebagai PKP
            Berisiko Rendah yang dilakukan berdasarkan prosedur sebagaimana dimaksud pada
            huruf E angka 9 SE-10/PJ/2018.

        s.     Dalam hal berdasarkan hasil penelitian PKP tidak diterbitkan SKPPKP karena tidak
            memenuhi persyaratan materiil, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
            pajak tersebut ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP.

        t.     Dalam hal jumlah kelebihan pembayaran pajak dalam SKPPKP tidak sama dengan
            jumlah lebih bayar dalam SPT Masa PPN, maka pengembalian atas selisih kelebihan
            pembayaran pajak yang belum dikembalikan dalam SKPPKP tersebut diproses dalam
            hal PKP Berisiko Rendah mengajukan kembali permohonan pengembalian pendahuluan
            melalui surat tersendiri sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Huruf F PMK-39/2018.

        u.     Surat tersendiri sebagaimana dimaksud pada huruf t disampaikan paling lama tanggal
            31 Januari 2021. Dalam hal permohonan pengembalian pendahuluan melalui surat
            tersendiri disampaikan setelah 31 Januari 2021, Kepala KPP tidak menerbitkan SKPPKP
            dan menindaklanjuti permohonan tersebut dengan menerbitkan surat pemberitahuan
            kepada PKP sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G
            PMK-39/2018.

        v.     Dalam hal terdapat selisih kelebihan pembayaran pajak yang belum dikembalikan dalam
            SKPPKP dan jangka waktu 31 Januari 2021 telah berakhir, selisih kelebihan pembayaran
            pajak yang belum dikembalikan tersebut dapat dikompensasikan ke masa pajak
            berikutnya dengan melakukan pembetulan SPT Masa PPN.

        w.     Dalam hal PKP menyampaikan pembetulan SPT Masa PPN yang diajukan permohonan
            pengembalian pendahuluan sebelum diterbitkan SKPPKP dan SPT pembetulan tersebut
            telah diterima secara lengkap, maka dasar penerbitan SKPPKP adalah SPT pembetulan,
            dan jangka waktu pengembalian pendahuluan dihitung sejak diterimanya SPT
            pembetulan.

        x.     Dalam hal setelah diterbitkan SKPPKP, PKP menyampaikan SPT Masa PPN pembetulan
            yang menyatakan lebih bayar dan mengajukan permohonan pengembalian
            pendahuluan, serta atas SPT Masa PPN pembetulan tersebut telah dinyatakan lengkap
            maka kelebihan pembayaran pajak yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan
            yaitu kredit pajak yang belum dilaporkan dalam SPT Masa PPN yang dilakukan
            pembetulan yang telah diterbitkan SKPPKP.

        y.     Dalam hal setelah diterbitkan SKPPKP, PKP menyampaikan SPT Masa PPN pembetulan
            yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar yang lebih kecil dibandingkan
            dengan nilai SKPPKP pada bagian II huruf D Formulir SPT Masa PPN 1111 dan PKP
            mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan, serta atas SPT pembetulan
            tersebut telah dinyatakan lengkap maka SPT Masa PPN pembetulan tersebut akan
            mengakibatkan PPN kurang bayar pada bagian II huruf F Formulir SPT Masa PPN 1111
            setelah memperhitungkan nilai SKPPKP pada bagian II huruf E Formulir SPT Masa PPN
            1111. Untuk selanjutnya:
            1)     SKPPKP tetap ditindaklanjuti dengan penerbitan SKPKPP; dan
            2)     PKP dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam
                Pasal 8 ayat (2a) Undang-Undang KUP.

        z.     Dalam hal PKP menyampaikan SPT Masa PPN pembetulan tidak memperhitungkan nilai
            SKPPKP yang telah diterbitkan pada bagian II huruf D Formulir SPT Masa PPN 1111,
            dan dalam hal jika nilai SKPPKP tersebut diperhitungkan mengakibatkan SPT Masa PPN
            pembetulan menjadi kurang bayar, maka ditindak lanjuti dengan:
            1)     menyampaikan SP2DK kepada PKP tersebut untuk melakukan pembetulan
                SPT Masa PPN; dan
            2)     menerbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
                ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP dalam hal PKP tidak melakukan
                pembetulan SPT Masa PPN sebagaimana dimaksud pada angka 1).

        aa.     Dalam hal telah diterbitkan SKPPKP dan PKP menyampaikan SPT Masa PPN pembetulan
            dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sesuai dengan
            ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP, atas kelebihan pembayaran pajak
            berdasarkan SPT pembetulan diproses melalui ketentuan Pasal 17B Undang-Undang
            KUP.

        bb.     SKPPKP atau pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada huruf p, diterbitkan paling
            lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan.

        cc.     Yang dimaksud dengan tanggal diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud pada
            huruf bb adalah:
            1)     tanggal bukti penerimaan SPT Masa PPN atau surat permohonan, dalam hal
                SPT Masa PPN atau surat permohonan disampaikan secara langsung;
            2)     tanggal penyampaian SPT Masa PPN atau surat permohonan secara lengkap,
                dalam hal SPT atau surat permohonan disampaikan melalui pos, perusahaan
                jasa ekspedisi, atau jasa kurir; atau
            3)     tanggal penyampaian SPT Masa PPN atau surat permohonan secara lengkap,
                dalam hal SPT Masa PPN atau surat permohonan disampaikan melalui saluran
                tertentu (e-filing) yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak.

        dd.     Tanggal penyampaian SPT Masa PPN diterima secara lengkap sebagaimana dimaksud
            pada huruf cc ditentukan berdasarkan penelitian SPT Masa PPN yang dilakukan oleh
            KPP sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur mengenai tata
            cara penyampaian, penerimaan, dan pengolahan Surat Pemberitahuan.

        ee.     Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf bb terlampaui dan Kepala
            KPP tidak menerbitkan SKPPKP atau pemberitahuan, permohonan PKP dianggap
            dikabulkan dan Kepala KPP menerbitkan SKPPKP paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah
            jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf bb berakhir.

        ff.     SKPPKP yang telah diterbitkan ditindaklanjuti dengan penerbitan SKPKPP sesuai dengan
            ketentuan dan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan
            Nomor 244/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan
            Pembayaran Pajak.

        gg.     Prosedur penyelesaian pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi
            Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah yaitu sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran
            huruf A yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur
            Jenderal ini.

    10.     Ketentuan mengenai kode KLU yang mendapatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, pembebasan PPh
        Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dan pengembalian pendahuluan
        kelebihan pembayaran PPN

        a.     Bagi Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak yang telah memiliki kewajiban menyampaikan
            SPT Tahunan PPh pada tahun 2018, kode KLU yang digunakan yaitu kode KLU
            sebagaimana yang tercantum dan telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Tahun
            Pajak 2018 baik:
            1)     SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 status normal; atau
            2)     SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 status pembetulan, yang disampaikan oleh
                Wajib Pajak baik sebelum maupun setelah tanggal berlakunya PMK-86/2020.

        b.     Bagi Pemberi Kerja yang belum atau tidak memiliki kewajiban penyampaian SPT
            Tahunan PPh Tahun Pajak 2018, kode KLU yang digunakan sebagai dasar pemberian
            insentif PPh Pasal 21 DTP yaitu kode KLU yang terdapat dalam administrasi perpajakan
            (Master File) Wajib Pajak Pusat.

        c.     Bagi Wajib Pajak yang baru terdaftar setelah Tahun Pajak 2018, kode KLU yang
            digunakan sebagai dasar pemberian insentif pembebasan PPh Pasal 22 Impor dan
            pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 yaitu kode KLU yang terdapat dalam
            administrasi perpajakan (Master File) Wajib Pajak.

        d.     Dalam hal terdapat ketidaksesuaian kode KLU sehingga Pemberi Kerja dan/atau Wajib
            Pajak tidak termasuk dalam kode KLU dalam lampiran PMK-86/2020 padahal KLU yang
            sebenarnya termasuk dalam lampiran tersebut, karena beberapa sebab di antaranya :
            1)     tidak menuliskan kode KLU pada SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018;
            2)     belum melakukan pelaporan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018; atau
            3)     salah mencantumkan kode KLU pada SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018,
            Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan KLU tersebut
            melalui penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 baik berstatus normal atau
            pembetulan, sepanjang atas SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 belum dilakukan
            pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang KUP.

        e.     Dalam hal SPT Tahunan Tahun Pajak 2018 sudah atau sedang dilakukan pemeriksaan,
            kode KLU yang digunakan yaitu kode KLU sebagaimana yang tercantum dalam Master
            File Wajib Pajak, dengan ketentuan bahwa Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak:
            1)     dapat melakukan perubahan kode KLU melalui penyampaian permohonan
                perubahan data sehingga sesuai dengan kode KLU yang sebenarnya; atau
            2)     tidak perlu melakukan perubahan kode KLU dalam hal kode KLU Pemberi Kerja
                dan/atau Wajib Pajak telah sesuai dengan KLU yang sebenarnya.

        f.     Dalam hal Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak mencantumkan kode KLU dalam SPT
            Tahunan PPh Tahun Pajak 2018, baik yang berstatus normal atau pembetulan,
            termasuk dalam kode KLU dalam lampiran PMK-86/2020, namun kode KLU dalam SPT
            tersebut berbeda dengan kode KLU pada:
            1)     Surat Keterangan Terdaftar Wajib Pajak; atau
            2)     Master File Wajib Pajak,
            maka Pemberi Kerja dan/atau Wajib Pajak tersebut tetap berhak mendapatkan insentif
            PPh Pasal 21 DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran
            PPh Pasal 25, dan/atau pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN.

    11.     Ketentuan mengenai perusahaan KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha
        Kawasan Berikat, atau izin PDKB yang mendapatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, pembebasan
        PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dan pengembalian
        pendahuluan kelebihan pembayaran PPN

        a.     Pengajuan pemberitahuan/permohonan dilampiri dengan Keputusan Menteri Keuangan
            mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat,
            izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB.

        b.     Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf a yaitu Keputusan
            Menteri Keuangan yang ditetapkan sebelum dan setelah PMK-86/2020 berlaku.

    12.     Tata cara pengawasan atas pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, PPh final PP 23 DTP, PPh
        final jasa konstruksi DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran
        PPh Pasal 25, dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN

        a.     Pengawasan atas pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, pembebasan PPh Pasal 22
            Impor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, pengembalian pendahuluan
            kelebihan pembayaran PPN, dan PPh final jasa konstruksi DTP adalah sebagai berikut:
            1)     dalam hal Pemberi Kerja telah memanfaatkan fasilitas insentif PPh Pasal 21
                DTP kemudian diketahui berdasarkan data dan/atau informasi yang
                menunjukkan keadaan sebenarnya bahwa Pemberi Kerja tidak termasuk KLU
                dalam lampiran PMK-86/2020 atau tidak berhak mendapatkan insentif PPh
                Pasal 21 DTP, maka diterbitkan SP2DK agar Pemberi Kerja menyetorkan
                kembali PPh Pasal 21 terutang yang seharusnya dipotong dan melakukan
                pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21;
            2)     dalam hal Wajib Pajak telah memanfaatkan pembebasan PPh Pasal 22 Impor
                dan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 padahal berdasarkan data
                dan/atau informasi yang diketahui bahwa Wajib Pajak tidak termasuk KLU
                dalam Lampiran PMK-86/2020 atau tidak termasuk perusahaan yang
                mendapatkan fasilitas KITE, izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin
                Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB, maka diterbitkan SP2DK agar
                Wajib Pajak melakukan pembayaran PPh Pasal 22 Impor dan PPh Pasal 25;
            3)     dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pembetulan sebagaimana dimaksud
                pada angka 1), dapat diterbitkan Surat Tagihan Pajak sesuai Pasal 14 ayat (1)
                huruf b Undang-Undang KUP untuk menagih kekurangan pembayaran PPh
                Pasal 21 terutang sebagaimana dimaksud pada angka 1);
            4)     penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 3) tidak
                dilakukan jika Wajib Pajak selaku Pemberi Kerja telah memperhitungkan dan
                membayar kekurangan pemotongan PPh Pasal 21 yang seharusnya tidak
                mendapatkan fasilitas PPh Pasal 21 DTP dalam penghitungan PPh Pasal 21
                terutang di Masa Pajak Desember;
            5)     dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pembetulan sebagaimana dimaksud
                pada angka 2), dapat diterbitkan Surat Tagihan Pajak sesuai Pasal 14 ayat (1)
                huruf a Undang-Undang KUP;
            6)     penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 5) tidak
                dilakukan jika SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2020 telah disampaikan;
            7)     penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 3) atau
                angka 5), dilakukan dengan terlebih dahulu memastikan kebenaran KLU dalam
                SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 melalui pelaksanaan pemeriksaan tujuan
                lain dalam rangka pencocokan data dan/atau alat keterangan atau pemeriksaan
                untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;
            8)     hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 7) juga dapat digunakan
                sebagai dasar perubahan data KLU Wajib Pajak dalam Master File Wajib Pajak;
            9)     dalam hal terdapat:
                a)     kelebihan pembayaran PPh yang diperhitungkan sebagaimana
                    dimaksud dalam angka 6 huruf h; dan
                b)     kekurangan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 Masa Pajak Agustus
                    2020 atau Masa Pajak berikutnya (Masa Pajak bersangkutan),
                KPP memastikan bahwa pembayaran angsuran PPh Pasal 25 Masa Pajak
                bersangkutan ditambah kelebihan pembayaran PPh yang diperhitungkan
                sebagaimana dimaksud dalam angka 6 huruf h adalah sebesar 50% (lima
                puluh persen) dari angsuran PPh Pasal 25 yang seharusnya terutang pada
                Masa Pajak bersangkutan;
            10)     dalam hal PKP telah diterbitkan SKPPKP, namun berdasarkan data dan/atau
                informasi yang menunjukkan keadaan sebenarnya bahwa Wajib Pajak tidak
                termasuk KLU dalam lampiran PMK-86/2020 atau tidak termasuk perusahaan
                yang mendapatkan pengembalian pendahuluan, maka terhadap Masa Pajak
                diterbitkannya SKPPKP diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan;
            11)     Kepala KPP berwenang melakukan pembinaan, penelitian, pengawasan
                dan/atau pengujian kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang memanfaatkan
                fasilitas PPh final jasa konstruksi DTP sesuai dengan ketentuan peraturan
                perundang-undangan di bidang perpajakan.

        b.     Pengawasan atas pemanfaatan insentif PPh final PP 23 DTP adalah sebagai berikut:
            1)     dalam hal Wajib Pajak telah memanfaatkan insentif PPh final PP 23 DTP,
                namun tidak menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud dalam
                Pasal 6 ayat (1) PMK-86/2020, maka Wajib Pajak tersebut tidak dapat
                memanfaatkan insentif PPh final PP 23 DTP dan:
                a)     wajib menyetorkan PPh final sebesar 0,5% atas penghasilan dari usaha
                    yang dikenai PPh final berdasarkan PP 23 Tahun 2018; atau
                b)     wajib melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan umum
                    Undang-Undang PPh atas penghasilan selain penghasilan sebagaimana
                    dimaksud huruf a);
            2)     dalam hal Wajib Pajak telah memanfaatkan insentif PPh final PP 23 DTP serta
                menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
                ayat (1) PMK-86/2020, namun tidak termasuk Wajib Pajak yang dikenai PPh
                berdasarkan PP 23 Tahun 2018, maka atas penghasilan tersebut Wajib Pajak:
                a)     tidak dapat memanfaatkan PPh final PP 23 DTP; dan
                b)     wajib melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan umum
                    Undang-Undang PPh;
            3)     Kepala KPP berwenang melakukan pembinaan, penelitian, pengawasan
                dan/atau pengujian kepatuhan terhadap Wajib Pajak yang memanfaatkan
                fasilitas PPh final PP 23 DTP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
                undangan di bidang perpajakan.


F.     Penutup

    1.     Dengan berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, maka Surat Edaran Direktur Jenderal
        Pajak Nomor SE-43/PJ/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
        86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus
        Disease 2019 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

    2.     Surat Edaran Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkannya Peraturan
        Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020 yaitu tanggal 14 Agustus 2020.

    3.     Dengan diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, diminta agar seluruh unit terkait
        di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak melakukan pengawasan sehubungan dengan
        pelaksanaan Surat Edaran Direktur Jenderal ini di lingkungan wilayah kerja masing-masing.

Demikian Surat Edaran Direktur Jenderal ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana
mestinya.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Agustus 2020
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

SURYO UTOMO

Labels: , ,